TDL Oh TDL
Oleh : Zulkarnaini
(Redaktur Padang Ekspres)
Bahkan negara, memilih untuk mengelola listrik yang dimotori Perusahaan Listrik Negara (PLN). Badan Usaha Milik Negara (BUMN) inilah yang diberi tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, segala aturan main yang diterapkan PLN tentunya bersumber kepada kebijakan pemerintah. Di mana, pemerintah dianggap orang yang paling berkuasa di negeri ini, yang hampir setiap pergantian penguasa, selalu diikuti dengan kebijakan yang berbeda pula.
Saya tidak tahu, apakah ini untuk menunjukkan jika kebijakan yang dilahirkan itu, memang ada sensasi dibanding penguasa sebelumnya. Saya ambil contoh seperti listrik, yang notabene untuk memenuhi hajat hidup orang banyak.
Seiring waktu berjalan, terjadi perubahan kebijakan pemerintah yang cukup drastis terhadap listrik di 2017 dengan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL). Di mana, salah satunya itu terjadi untuk listrik berdaya 900 VA.
Jika dicermati lebih dalam, kenaikan TDL untuk daya 900 VA ini bisa dikatakan sebagai sejarah bagi listrik kita. Betapa tidak. Sedikitnya ada tiga kali kenaikan TDL. Yakni pada 1 Januari 2017, lalu 1 Maret 2017 dan 1 Mei 2017.
Manariknya kenaikan TDL tersebut bisa dikatakan terlalu dipaksakan. Karena kenaikan TDL hanya berselang sekali dua bulan. Bahkan jika dikalkulasikan mulai dari 1 Januari 2017 hingga 1 Mei 2017, kenaikan TDL mencapai lebih dari 100 persen.
Faktanya, dari skenarionya, secara bertahap tarif pelanggan rumah tangga mampu 900 VA mengalami kenaikan dari Rp 605/kWh menjadi Rp 791/kWh per 1 Januari 2017. Kemudian Rp 1.034/kWh mulai 1 Maret 2017, dan Rp 1.352/kWh per 1 Mei 2017.
Belum puas sampai di sana, mulai 1 Juli 2017, pelanggan rumah tangga mampu 900 VA juga akan dikenakan penyesuaian tarif otomatis setiap bulan, seperti 12 golongan tarif nonsubsidi lainnya.
Di mana, jika mengikuti tarif listrik 12 golongan tarif nonsubsidi per 1 Januari 2017, maka tarifnya sebesar Rp 1.467,28/kWh. Dengan demikian, per 1 Juli 2017 akan terdapat 13 golongan nonsubsidi yang mengalami penyesuaian tarif setiap bulan.
Pelanggan rumah tangga mampu yang sebelumnya tergabung dalam golongan rumah tangga 900 VA itu, juga menjadi golongan baru. Sehingga total golongan PLN bertambah satu dari sebelumnya 37 menjadi 38.
Dari skenario yang saya gambarkan itu, terlihat jelas. Pemerintah terkesan terlalu memaksakan kenaikan TDL. Kenaikan TDL hingga lebih dari 100 persen tersebut, menurut saya juga momennya belum pas. Karena, kenaikannya seiring dengan kenaikan harga barang di pasaran saat ini.
Sayangnya, pemerintah berkilah jika kenaikan tarif tersebut merupakan kebijakan untuk memberikan subsidi secara tepat sasaran. Dan itu juga diamini oleh wakil kita yang ada di Senayan yang seharusnya lebih membela kepentingan rakyat.
Jujur, saya secara pribadi menilai, belum saatnya pemerintah menaikkan TDL, apalagi kalau kenaikannya itu hanya berselang dalam kurun waktu sekali dua bulan. Ini jelas sangat membebani masyarakat.
Jika pemerintah menyebut, kenaikan TDL untuk daya 900 VA ini untuk golongan masyarakat mampu, saya juga kurang setuju. Karena, seharusnya pemerintah juga harus memiliki indikator atau ukuran yang jelas untuk bisa menyebut masyarakat mampu.
Karena menurut saya, salah satu ukuran yang bisa disebut sebagai masyarakat mampu adalah masyarakat yang memiliki penghasilan di atas Rp 3 juta juga. Namun, kalau seandainya, mereka hanya seorang pekerja kasar yang hanya menerima upah berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) setiap bulannya, apakah ini bisa dimasukan ke dalam golongan masyarakat mampu. Saya kira juga belum pas.
Kita ambil saja contohnya sederhananya, seseorang yang sudah bekeluarga dan memiliki isteri yang notabene ibu rumah tangga dan memiliki dua anak. Dengan penghasilan yang hanya berdasarkan UMP apakah mereka ini tergolong sudah mampu.
Karena itu, saya menyebut jika kenaikan TDL oleh pemerintah, tergolong dipaksakan di tengah aroma krisis ekonomi yang mulai kental terasa saat ini. Seperti saya misalnya, jika sebelumnya saya membeli pulsa token listrik dengan harga Rp 53.000, saya dapat sekitar 78 kWh dan bisa tahan sampai 25 hari.
Tapi saat ini, dengan harga pulsa token Rp 54.000 hanya dapat sekitar 33 kWh dan hanya bisa tahan satu minggu. Dengan kondisi ini, tentunya akan membuat pengeluaran semakin membengkak.
Ini hanya contoh kecil. Mungkin di luar sana masih banyak masyarakat yang merasakan apa yang saya rasakan saat ini. Jadi pertanyaannya, sudah mampukah kita?(*)
Posting Komentar