Padang, Sindotime-Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan
70/PUU-XXII/2024 mengenai batas usia dan ambang dukungan calon kepala daerah yang
dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu, membawa mendapat respon
dari sejumlah masyarakat, termasuk di kalangan mahasiswa.
Bahkan, menyikapi putusan tersebut, ratusan mahasiswa dari
berbagai universitas di Sumatera Barat langsung menggelar aksi unjuk rasa di
depan kantor DPRD Sumbar pada Kamis (22/8/2024). Mereka menyerukan kepada
masyarakat untuk mengawal putusan terkait aturan Pilkada tersebut.
"Pemerintah dan DPR berencana mengesahkan RUU Pilkada
melalui rapat paripurna, tentu saja hal itu sangat bertentangan dengan putusan
MK, untuk itu kami akan kawal," kata salah seorang pengunjuk rasa.
Dari pantauan media ini di lokasi, tampak mahasiswa dengan
memakai almameter masing-masing kampus berteriak sambil membawa spanduk dan
sejumlah kertas bertuliskan seperti DPR Penjilat Rezim, Indonesia Terancam
Bubar, Hentikan Kemaksiatan Rezim Jokowi, Dinasti Membuat Rakyat Kurang Gizi
dan lain sebagainya.
"Hidup Mahasiswa Hidup Rakyat Indonesia, lawan rejim,
kawal putusan MK," teriak mahasiswa itu.
Sementara salah seorang staf Sekretaraiat DPRD Provinsi
Sumatera Bara saat diwawancarai kenapa tidak ada pimpinan maupun anggota dewan
yang keluar menemui pengunjuk rasa mengatakan, seluruh anggota dewan ada dinas
ke luar daerah.
"Semua pimpinan dan anggota dewan dinas luar, sebelum
ada rencana mahasiswa unjuk rasa, mereka (anggota dewan) sudah dinas luar
daerah juga," katanya.
Orasi juga ditunjukan Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
Universitas Andalas (Unand), Hary Efendi Iskandar. Menurutnya aksi yang
dilakukan beberapa mahasiswa hingga masyarakat sipil di Sumbar merupakan bentuk
kepedulian masyarakat yang ingin merawat demokrasi.
"Kita merasa ini, darurat dan sangat darurat. Kita
harus turun bersama dengan semua komponen. Mulai dari anak bangsa, NGO hingga
ormas. Karena semua kita harus peduli, kalau kita tidak peduli. Berarti bisa
jadi, demokrasi ini menjadi kuburan dan menjadi barang yang telah mati,"
ungkapnya.
Dia juga mengritik terkait sebutan Raja Jawa yang diucapkan
oleh oknum pejabat pemerintah pusat. Di mana sebutan Raja Jawa tersebut dikhawatirkan
bisa memecah belah masyarakat.
"Sekarang orang sudah terang-terang sebut penguasa Raja
Jawa gitu. Sangat terbuka, gawat ini. Ini tidak bisa dibiarkan dan bisa pecah
belah. Kalau kerajan lagi. Kenapa tidak dulu kita bentuk kerajaan. Karena
negara republik ini dibuat untuk pelayanan kepentingan publik yang bisa
mempersatukan beberapa suku bangsa agama dan etnis," tegasnya.(mo2n)
Posting Komentar