Oleh : Muhammad Nabil Azka
(Mahasiswa Ilmu Politik Unand)
LABEL mahasiswa sebagai agent of change, iron stock & social control tidaklah terjadi begitu saja. Sejarah mencatat di setiap perubahan zaman yang terjadi selalu ada andil mahasiswa didalamnya. Peristiwa Tritura respon dari Gerakan 30 September 1965, Unjuk rasa menolak Revisi UU KPK tahun 2019 hingga yang paling monumental kejatuhan rezim Soeharto tahun 1998 yang menandai lahirnya reformasi, selalu ada peran besar gerakan mahasiswa yang menyertai peristiwa-peristiwa penting tersebut sebagai katalis terjadinya perubahan positif yang lebih besar karena mahasiswa Ketika Bersatu akan menjadi sebuah gerakan yang memperjuangkan kepentingan umum. Mahasiswa dalam konteks gerakan sosial memiliki peran yang krusial untuk penyadaran publik serta mengadvokasi isu-isu aktual.
Gerakan sosial yang dibangun mereka atas dasar kesadaran kritis sebagai agen perubahan.
Dalam buku The Constitution of Society karya Anthony Giddens menjelaskan konsep gerakan sosial sebagai suatu Upaya kolektif untuk mencapai kepentingan Bersama melalui tindakan-tindakan kolektif. Lebih lanjut Robert Mirsel dalam tulisannya For Demonstration Purpose tahun 2004 menambahkan bahwa gerakan sosial adalah seperangkat keyakinan yang disertai
Tindakan yang tak terlembaga yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan ataupun menghalangi perubahan dalam ruang-ruang publik. Gerakan mahasiswa adalah sebuah gerakan sosial karena memiliki misi mencapai kepentingan umum, bersifat kolektif, dan tidak terlembaga. Maksud dari tidak terlembaga adalah tidak memiliki struktur formal dan tidak terorganisir seperti partai politik dan organisasi pemerintah, lalu yang paling penting gerakan mahasiswa muncul secara spontan dan didorong semangat revolusioner.
Gerakan progresif mahasiswa Indonesia yang terekam jelas adalah bagaimana mereka mampu merubah arah politik nasional dan memberikan angin segar perubahan pada peristiwa Reformasi 1998.
Beribu mahasiswa turun kejalan melakukan aksi unjuk rasa memprotes kolusi korupsi nepotisme keluarga cendana yang menyebabkan rakyat menderita diperparah dengan inflasi moneter yang terjadi. Gerakan kolektif mahasiswa itu berhasil menjatuhkan rezim otoritarian Soeharto dan menghasilkan perubahan besar dalam aspek demokrasi dan penerapan good governance and clean government seperti pemisahan militer dari pemerintahan, lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi dan kebijakan anti-korupsi, munculnya kebijakan kesetaraan gender dalam politik, dan terjaminnya hak bersuara mengemukakan pendapat.
Lain dulu lain sekarang, meskipun masih kerap kita jumpai aksi demonstrasi oleh mahasiswa namun tidak terlalu efektif dan kolektif. Bahkan slogan mahasiswa sebagai social control pun saat ini patut dipertanyakan, mengingat kebanyakan mereka tidak reaktif dan cenderung apatis. Dewasa ini, Banyak kasus-kasus pelanggaran konstitusi, perampasan aset, dan ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat kelas bawah direspon oleh mahasiswa dengan gerakan yang tidak kolektif sehingga perubahan nyata sulit untuk didapatkan kecuali melalui jalur formal sehingga pola pemikiran mahasiswa dalam penyelesaiannya cenderung ke arah legal normatif. Fenomena itu disebut aktivisme borjuis yang menggerogoti mahasiswa Indonesia abad 21.
Aktivisme borjuis merujuk pada tindakan dalam hal ini adalah gerakan mahasiswa yang dilakukan oleh kelas menengah reformis yang memiliki akses ke Pendidikan dan sumber daya. Gerakan aktivisme ini cenderung berfokus pada perubahan institusional melalui jalur hukum dan politik yang sah. Aktivisme borjuis lahir karena tidak adanya pengorganisasian berbasis kelas dalam arena politik sekaligus melunakkan tuntutan revolusi menjadi reformasi. Kelas menengah reformis lebih memilih mengadvokasi isu dengan mendorong reformasi institusi serta menopang penguatan demokrasi ketimbang mengubah secara radikal tatanan ekonomi dan struktur kekuasaa. Memang tampak gerakan mahasiswa oleh aktivisme borjuis terkesan menghindari konflik akan tetapi cacat bila dilihat dari esensi sebuah gerakan karena bersifat sporadis sehingga pada akhirnya sangat terfragmentasi sebagai kekuatan politik. Para aktivisme borjuis tidak pernah punya ukuran yang jelas, kapan dan dengan cara apa perang melawan kekuatan anti-demokrasi dapat dimenangkan.
Kritik yang ditekankan kepada mahasiswa kelas menengah reformis adalah bahwa mereka gagal mempertahankan demokrasi karena watak aktivisme borjuis-liberal yang mendorong perubahan institusional saja serta melakukan perlawanan-perlawanan sporadis terhadap kekuasaan yang hampir sia-sia. Aktivisme borjuis juga dapat dijadikan alat legitimasi bagi elit yang berkuasa dengan mempoles konstitusi sesuai kepentingan mereka, sehingga supremasi hukum yang selalu digadang-gadangkan oleh para mahasiswa kelas menengah reformis menjadi semu.
Aktivisme borjuis setidaknya menekankan pada dua hal yaitu institusional dan legal formal padahal untuk beberapa kasus krusial lebih dibutuhkan perubahan-perubahan fundamental yang dipicu oleh konflik sosial besar. Untuk itu, mahasiswa sebagai sebuah gerakan mulailah menyadari Kembali fungsi mereka. Terakhir, gerakan mahasiswa progresif yang koheren dapat menjadi solusi alternatif untuk membangkitkan Kembali aspek-aspek esensial demokrasi.(***)
Posting Komentar