DAS Anai Terancam, Rehabilitasi dan Konservasi Lingkungan Mendesak Dilakukan

DIBAHAS: Persoalan percepatan rehabilitasi lingkungan dan konservasi kawasan DAS Anai menjadi pembahasan serius Forum DAS Sumbar.(forum das sumbar)



Padang, Sindotime—Untuk mendukung target nasional FOLU Net
Sink 2030, yakni penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan
penggunaan lahan, percepat rehabilitasi lingkungan dan konservasi kawasan
Daerah Aliran Sungai (DAS) Anai mendesak dilakukan.

Ini menjadi salah satu rumusan Forum Daerah Aliran Sungai
(DAS) Sumatera Barat saat internalisasi Rencana Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (RPDAS) Anai 2017–2031. Di mana, RPDAS Anai, yang telah disahkan pada
tahun 2016, kini memasuki tahap implementasi. Fokus utama berada pada penguatan
integrasi program lintas lembaga dan sektor, terutama setelah bencana banjir
bandang (galodo) yang terjadi di wilayah Batang Anai pada 12 Mei 2024.
Peristiwa tragis ini menjadi pengingat kuat akan kerentanan ekologis kawasan
hulu DAS yang mengalami tekanan hebat akibat degradasi lingkungan.

Karakteristik DAS Anai dan Ancaman Banjir Bandang

Ketua Forum DAS Sumbar, Isril Berd, menjelaskan bahwa DAS
Anai yang membentang sepanjang 91 km memiliki karakteristik hidrologi yang
kompleks. Saat bencana 12 Mei lalu, curah hujan ekstrem mencapai 130 mm/hari
menyebabkan debit air meluap hingga 400,6 meter kubik per detik. Sementara
kapasitas sungai di kawasan Lembah Anai hanya sekitar 114,3 m³/detik,
menciptakan surplus air lebih dari 290 m³/detik.

“Kelebihan debit inilah yang menciptakan energi
destruktif, merusak infrastruktur, merendam kawasan wisata, dan mengancam
keselamatan jiwa,” jelas Isril. Ia menambahkan, jika banjir terjadi di
waktu ramai pengunjung, jumlah korban bisa jauh lebih besar.

Isril juga menyoroti pentingnya penataan kembali tata guna
lahan dan pola pertanian di kawasan lereng gunung seperti Merapi, Singgalang,
dan Tandikek. Praktik konservasi seperti terasering dan larangan pembukaan
lahan tanpa pengendalian erosi harus ditegakkan untuk mencegah degradasi lebih
lanjut.

Tata Ruang dan Permasalahan Sempadan Sungai

Selain aspek ekologis, Isril menekankan lemahnya pengawasan
dalam pemanfaatan sempadan sungai sebagai faktor krusial. Banyak bangunan
permanen seperti rumah makan dan tempat ibadah berdiri di zona rawan banjir
tanpa izin yang memadai.

“Pelanggaran terhadap tata ruang dibiarkan terjadi. Ini
bukan semata-mata masalah teknis, tapi juga soal ketegasan regulasi. Tata ruang
kita manipulatif dan perlu segera ditertibkan,” ujarnya.

Langkah Konservasi Nyata: Penanaman, RHL, dan Infrastruktur
Mitigasi

Kepala Balai Pengelolaan DAS Agam Kuantan, Imas Adianingsih,
mengungkapkan bahwa berbagai upaya konservasi sudah berjalan. Tahun ini,
dilakukan penanaman bambu di lahan seluas 5 hektare sebagai penguat tebing
sungai, khususnya di bagian hulu DAS.

“Secara kumulatif, rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di DAS
Anai telah mencakup lebih dari 300 hektare, didukung oleh APBN dan program FOLU
Net Sink,” kata Imas.

Selain itu, pembangunan dam penahan dan gully plug (struktur
pengendali erosi di alur air) juga menjadi bagian penting dari strategi
pengendalian sedimentasi dan longsor, mengingat kawasan DAS Anai dikelilingi
oleh tiga gunung aktif dengan curah hujan tinggi.

Tantangan Kelembagaan dan Pentingnya Sinergi Multi-Pihak

Isu di DAS Anai tidak hanya berkaitan dengan teknis
konservasi, tetapi juga kompleksitas koordinasi lintas wilayah administratif.
DAS Anai mencakup enam daerah — Kota Padang, Padang Panjang, Padang Pariaman,
Tanah Datar, Agam, dan Solok — yang masing-masing memiliki kewenangan
tersendiri.

Imas menekankan bahwa penanganan masalah DAS Anai menuntut
kerja sama lintas sektor dan partisipasi aktif dari masyarakat. Tidak cukup
hanya mengandalkan instansi teknis seperti BPDAS atau Balai Wilayah Sungai
(BWS), tetapi juga perlu dukungan dari pemerintah daerah, lembaga swadaya
masyarakat, akademisi, dan media.

Kerugian Besar dan Pentingnya Pendanaan

Banjir bandang yang terjadi pada Mei 2024 menyebabkan
kerugian infrastruktur yang sangat besar, ditaksir hampir mencapai Rp 1 triliun
hanya dalam tiga bulan pasca bencana. Situasi ini menjadi pengingat bahwa
konservasi bukan sekadar program jangka panjang, melainkan kebutuhan mendesak
yang harus didukung anggaran yang memadai dan regulasi yang tegas.

Kasus DAS Anai menjadi contoh nyata bahwa degradasi
lingkungan di hulu, lemahnya pengawasan tata ruang, dan ketidaksinambungan
program lintas sektor dapat berdampak langsung pada keselamatan masyarakat dan
kerugian ekonomi. Penguatan implementasi RPDAS Anai dan sinergi antar pihak
menjadi krusial untuk membangun sistem pengelolaan DAS yang tangguh,
berkelanjutan, dan adaptif terhadap perubahan iklim serta risiko
bencana.(*/zoe)