Oleh : FELIX IRYANTOMO
BEBERAPA waktu yang lalu, Menteri Perhubungan, dalam
kesempatan media briefing membuat pernyataan salah satunya yang sangat menarik
perhatian adalah bahwa “akan membubarkan Jembatan Timbang” dengan tuduhan bahwa
jembatan timbang (JT) menjadi sarang pungli (pungutan liar). Apakah tuduhan
bahwa JT sebagai sarang pungli tersebut benar…?! Tentunya yang paling paham
atas kondisi tersebut adalah para Petugas JT dan pengemudi angkutan barang yang
sering melintas dan masuk ke JT .
Membaca berita pernyataan Menhub yang akan membubarkan JT
tersebut mengingatkan penulis pada kurun waktu 40 tahun silam tepatnya tahun
1985, Dimana pada waktu itu (masa orde baru) Panglima Komando Operasi Keamanan
dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Laksamana Sudomo, memerintahkan penutupan semua
JT yang dioperasikan di seluruh Indonesia dengan menggunakan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1985. Tidak hanya perintah penutupan JT tetapi
termasuk “memreteli” atribut seragam yang dikenakan oleh aparat Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan (LLAJ).
Kondisi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Direktur
Jenderal Perhubungan Darat (Ir. Giri Suseno, MSME) dengan mengeluarkan
Instruksi Nomor L.1/1./11 Tahun 1985, yang singkatnya menginstruksikan seluruh
aparat LLAJ baik yang di pusat maupun yang di daerah harus melaksanakan
tugas-tugas yang terkait dengan “Transportasi Murni”.
Kembali kepada pernyataan Menhub yang akan membubarkan JT
dengan dalih sebagai saramg pungli, perlu dipertanyakan apakah selama ini sudah
ada oknum petugas yang ditangkap oleh karena melakukan pungli, dan apabila ada,
apakah kepada mereka sudah dijatuhi sanks? Hal ini sangat perlu diungkapkan,
kenapa, agar pernyataan Menhub benar-benar didasarkan pada fakta dan tidak
justru menjadi bumerang yang oleh petugas di lapangan menilai, bahwa pernyataan
tersebut sekadar sebagai tuduhan belaka yang tidak berdasar. Terlebih lagi,
pernyataan tersebut berpotensi menimbulkan demotivasi bagi para petugas di
lapangan.
Sebagaimana diketahui bahwa semenjak dibentuknya Unit Kerja
Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) di seluruh Indonesia, yang merupakan
kepanjangan tangan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat di daerah, maka
pengelolaan seluruh JT berada di Pundak BPTD.
Dengan kondisi tersebut pengelolaan JT sudah satu komando di bawah
Dirjen Perhubungan Darat, sehingga seharusnya tata kelolanya juga seragam alias
tidak ada perbedaan antara pdaerah yang satu dengan daerah yang lain, termasuk
menyangkut kompetensi SDM yang ditugaskan pada masing-masing JT.
Perlu dicatat bahwa fungsi unit kerja JT seharusnya bukan
sekadar untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran lebih muatan dan lebih
dimensi truk, yang belakangan popular disebut sebagai Truk Over Dimension Over
Loaded/ODOL. Namun demikian JT bisa menjadi Lokasi pendataan asal dan tujuan
barang yang diangkut oleh seluruh truk yang melintas sekaligus data berbagai
jenis barang/komoditi yang diangkut. Pada aspek tersebut, ada titik lemah di
lingkungan Kementerian Perhubungan dalam hal mana hampir tidak pernah ada
publikasi yang diterbitkan yang bisa secara mudah diketahui oleh publik.
Seandainya seluruh JT ditugasi mendata seluruh jenis barang berikut beratnya
serta asal dan tujuan, maka data tersebut bisa menjadi indikator perekonomian
yang sangat penting bagi daerah dimana JT tersebut berlokasi.
Lebih lanjut, Menhub juga mengungkapkan bahwa sebagai
pengganti atas rencana dibubarkannya JT maka akan dipasang perangkat Weigh In
Motion (WIM), suatu perangkat yang mampu menimbang kendaraan dalam keadaan
bergerak sehingga meminimalisir interaksi antara petugas dan pengemudi. Bahkan
rencana tersebut sudah dibahas, dikoordinasikan dengan pihak PT. Jasa Marga.
Publik tahu bahwa Jasa Marga Adalah salah satu BUMN operator sebagian besar
jaringan jalan tol di Indonesia.
Di sisi lain publik juga paham bahwa keberadaan
jalan tol masih terbatas di Sebagian Pulau Sumatera, Pulau Jawa (utamanya jalur
utara), sedikit di Pulau Kalimantan (ruas Balikpapan – Samarinda di Kalimantan
Timur), dan di pulau Sulawesi ada sedikit di Kota Makassar dan sekitarnya,
serta Manado – Bitung. Pertanyaan berikutnya, jika JT dibubarkan, bagaimana
Kementerian Perhubungan mengawasi lalu lintas angkutan barang di seluruh
Indonesia terutama di jalan-jalan nasional yang belum ada jaringan jalan tol?
Terlebih apabila hal tersebut dikaitkan dengan Upaya pemerintah, sebagaimana
diungkapkan oleh Menko Infrastruktur dan Pengembangan Kewilayahan (IPK), bahwa
mentargetkan Indonesia zero Truk ODOL pada tahun 2027. Rasa-rasanya pernyataan
Menhub yang akan membubarkan JT tersebut menjadi dekonstruktif dan tidak
nyambung dengan target Menko IPK.
Mungkin ada baiknya jika Menhub mengagendakan untuk
melaksanakan perjalanan keliling Indonesia menggunakan moda jalan, misalnya
diawali pada menjelang akhir tahun 2025 bisa dijadwalkan Tour Sumatera,
selanjutnya semester 1 tahun 2026
melaksanakan Tour Jawa, dan seterusnya mencakup Bali dan Nusa Tenggara,
Kalimantan, Saulawesi, hingga bisa
betul-betul paham kondisi angkutan jalan yang merupakan urat nadi logistik dan
perekonomian Indonesia.
Sangat mungkin dari perjalanan-perjalanan tersebut bisa
diperoleh data ataupun Gambaran nyata yang selama ini belum diketahui oleh
Menhub, sehingga sangat bermanfaat sebagai dasar pengambilan kebijakan dan
keputusan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Perhubungan.(***)