Oleh : DJOKO SETIJOWARNO
PENYEDIAAN akses transportasi umum ke kawasan perumahan akan
mengurangi biaya transportasi bagi masyarakat. Dengan anggaran sebesar Rp 1,2
triliun , kita dapat memberikan subsidi angkutan umum selama setahun penuh
untuk 20 kota kecil dan sedang di Indonesia.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan Biro Komunikasi Dan
Informasi Publik Kementerian Perhubungan (29/9), Menteri Perhubungan Dudy
Purwagandhi menyampaikan komitmen Kementerian Perhubungan untuk mendorong
tersedianya akses transportasi umum massal menuju kawasan perumahan.
Saat ini, banyak kawasan perumahan tidak memiliki fasilitas
transportasi umum yang memadai untuk menuju tempat kerja. Hal ini membuat
perumahan menjadi kurang layak huni karena tidak didukung oleh akses layanan
transportasi umum. Mayoritas melakukan perjalanan dimulai dari tempat tinggal.
Indonesia tengah menghadapi krisis transportasi umum, lebih
dari 95% kawasan perumahan tidak memiliki akses. Padahal, idealnya, warga bisa
menjangkau halte atau stasiun hanya dengan berjalan kaki maksimal 500 meter.
Kualitas layanan angkutan publik yang menurun memicu naiknya
biaya transportasi, yang pada akhirnya membebani pengeluaran masyarakat.
Menurut Survei Biaya Hidup (SBH) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, biaya
transportasi di Indonesia rata-rata menyumbang 12,46% dari total biaya hidup
rumah tangga. Angka ini melebihi standar ideal Bank Dunia yang merekomendasikan
porsi pengeluaran transportasi tidak lebih dari 10%.
Sebelum tahun 1990-an, kebijakan pemerintah mengharuskan
pembangunan perumahan diimbangi dengan adanya layanan transportasi umum seperti
angkutan kota atau bus Damri. Namun, seiring berjalannya waktu, layanan
angkutan ini semakin berkurang, bahkan banyak yang sudah hilang, meskipun
kawasan perumahan tersebut masih tetap ada.
Untuk mengatasi masalah ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu direvisi. Saat ini,
undang-undang tersebut belum mewajibkan fasilitas transportasi umum sebagai
bagian dari sarana umum. Oleh karena itu, penting untuk memasukkan kewajiban
pembangunan perumahan yang disertai dengan penyediaan akses transportasi umum.
Kolaborasi antar kementerian
Penyediaan akses transportasi umum ke kawasan permukiman
tidak harus sepenuhnya ditanggung oleh Kementerian Perhubungan. Sebaliknya,
Kementerian Perhubungan dapat bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri agar
pemerintah daerah bisa menyiapkan anggaran khusus. Saat ini, sudah ada tiga
pemerintah daerah yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang pendanaan
angkutan umum, yaitu Kota Pekanbaru, Kota Semarang, dan Kota Batam.
Peraturan Daerah Kota Pekanbaru No. 2 Tahun 2024 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Umum Massal, pasal 12 menyebutkan bahwa Pemerintah
Kota Pekanbaru berkewajiban memberikan pembiayaan untuk angkutan umum massal
maksimal 5% dari APBD, disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Pendanaan
ini merupakan bentuk subsidi atau Public Service Obligation (PSO), dan dapat
juga berasal dari sumber lain.
Peraturan Daerah Kota Semarang No. 11 Tahun 2024 tentang
Penyelenggaraan Perhubungan, pasal 140 mengatur bahwa Pemerintah Kota Semarang
dapat memberikan subsidi angkutan untuk trayek tertentu. Subsidi ini berlaku
untuk angkutan umum maupun angkutan massal, seperti Bus Rapid Transit (BRT) dan
kereta api. Alokasi subsidi paling sedikit 5% dari APBD dan didasarkan pada
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Peraturan Daerah Kota Batam No. 1 Tahun 2025 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Massal Berbasis Jalan, pasal 24 menyatakan bahwa
Pemerintah Kota Batam wajib menyediakan pendanaan untuk sistem BRT dan
prasarananya, dengan alokasi minimal 10% dari total Opsen Pajak Kendaraan
Bermotor. Pendanaan ini bertujuan untuk subsidi angkutan umum massal atau
Public Service Obligation (PSO) dan peningkatan layanan BRT setiap tahunnya,
serta dapat bersumber dari pendanaan lain sesuai ketentuan yang berlaku.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 25 Peraturan Pemerintah
Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
disebutkan bahwa hasil dari penerimaan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan opsen
PKB harus dialokasikan setidaknya 10% untuk pembangunan moda dan sarana
transportasi umum
Menuntut keseriusan pemerintah pusat
Pertanyaan tentang komitmen pemerintah pusat terhadap
pemerataan transportasi umum di daerah sering muncul. Dengan total 514
pemerintah daerah yang tersebar di 38 provinsi, sudah seharusnya Kementerian
Perhubungan meningkatkan anggaran tahunan untuk pembenahan angkutan umum.
Pemerintah menargetkan pembenahan angkutan umum di 20 kota
melalui RPJMN 2025-2029. Namun, program ini menghadapi tantangan serius karena
anggaran stimulan skema buy the service (BTS) terus menyusut, yang membuat
keberhasilan program dipertanyakan.
Anggaran yang dialokasikan untuk skema ini menunjukkan tren
penurunan signifikan. Setelah mencapai puncaknya di angka Rp 582,98 miliar pada
2023, alokasi anggaran justru terus menurun. Berikut adalah rinciannya tahun
2020 sebesar Rp 51,83 miliar (5 kota, 19 koridor), tahun 2021 (Rp 312,25
miliar, 5 kota, 26 koridor), tahun 2022 (Rp 552,91 miliar, 10 kota, 51
koridor), tahun 2023 (Rp 582,98 miliar, 10 kota, 48 koridor), tahun 2024 (Rp
437,89 miliar, 11 kota, 46 koridor), tahun 2025 (Rp 177,49 miliar, 6 kota, 16
koridor), dan 2026 (Rp 82,6 miliar direncanakan, hanya untuk 5 kota).
Pada 2026, anggaran sebesar Rp 82,6 miliar hanya akan
dialokasikan untuk lima kota, yaitu Kabupaten Banyumas, Kota Manado, Kota
Bekasi, Kota Depok, dan Kota Balikpapan. Keterbatasan ini memunculkan
pertanyaan tentang komitmen pemerintah terhadap pemerataan perbaikan
transportasi umum di seluruh Indonesia, terutama mengingat target awal yang
lebih ambisius.
Meskipun sering menghadapi kendala anggaran, saat ini 38
pemerintah daerah telah berinisiatif mengalokasikan APBD mereka untuk membiayai
operasional angkutan umum. Upaya ini dilakukan oleh 12 provinsi, 16 kota, dan
10 kabupaten . Bahkan, dua pemerintah daerah telah memiliki Peraturan Daerah
(Perda) yang secara khusus mengatur alokasi 5% dari APBD untuk subsidi angkutan
umum.
Sebelas pemerintah provinsi, di antaranya Trans Koetaradja
di Aceh, Trans Siginjai di Jambi, dan Trans Jakarta di Daerah Khusus Jakarta.
Angkutan umum serupa juga beroperasi di Jawa Barat (Metro Jabar Trans), Jawa
Tengah (Trans Jateng), Daerah Istimewa Yogyakarta (Trans Jogja), Jawa Timur
(Trans Jatim), Banten (Trans Banten). Sementara itu, ada juga Trans Metro
Dewata di Bali, Trans Banjarbakula di Kalimantan Selatan, Trans Sulsel di
Sulawesi Selatan, dan Trans NKRI di Gorontalo.
Sebanyak 16 kota, seperti Trans Binjai di Kota Binjai, Trans
Metro Deli di Kota Medan, dan Trans Padang di Kota Padang. Di pulau lain, ada
juga Trans Metro Pekanbaru di Kota Pekanbaru, Trans Batam di Kota Batam, serta
Trans Musi Jaya di Kota Palembang. Di Jawa, layanan serupa tersedia di Kota
Bogor (Trans Pakuan), Kota Tangerang (Trans Tangerang dan Si Banteng), Kota
Bandung (Trans Metro Bandung), Kota Semarang (Trans Semarang), Kota Surakarta
(Trans Batik Solo Trans), dan Kota Surabaya (Suroboyo Bus dan Trans Semanggi
Surabaya). Sementara di Kalimantan dan Sulawesi, layanan ini hadir di Kota
Banjarmasin (Trans Banjarmasin), Kota Banjarbaru (Angkutan Juara), Kota Cirebon
(Trans Cirebon) dan Kota Palu (Trans Palu).
Sementara itu, sembilan kabupaten, seperti Trans Wibawa
Mukti di Kabupaten Bekasi, Si Mas Ganteng di Kabupaten Tuban, dan Trans
Bangkalan di Kabupaten Bangkalan. Upaya serupa juga dilakukan oleh Kabupaten
Banjar (Trans Intan), Kabupaten Donggala (Trans Donggala), Kabupaten Tanah Laut
(Trans Lakatan), Kabupaten Balangan (Trans Sanggam), Kabupaten Trenggalek
(Trans Trenggalek), Kabupaten Tabalong (Trans Langsat Manis), dan Kab. Aceh
Besar (Trans Jantho).
Jika pemerintah sudah mencanangkan Indonesia Emas 2045,
tentunya pembenahan angkutan umum dapat dilakukan sejak sekarang. Kurun waktu
20 tahun tidak cukup jika hanya dalam RPJMN 2025 – 2029 hanya dapat tambahan 4
kota untuk dineahi layanan angkutan umumnya.
Jika anggaran harian Program Makan Bergizi Gratis sebesar
Rp1,2 triliun dialihkan untuk membiayai angkutan umum dalam kurun setahun, maka
20 kota kecil dan sedang di Indonesia bisa memiliki sistem transportasi publik
yang memadai.(***)