Oleh : DJOKO SETIJOWARNO
KEMACETAN-panjang yang terjadi di sekitar Kawasan Tanjung
Priok, Jakarta Utara, pada Kamis (17/4/2025). Diperkirakan adalah kemacetan
lalu lintas yang terparah. Namun, kemacetan bukan hal baru bagi kawasan
pelabuhan ini. Bagi sopir truk macet sudah jadi bagian dari hidup. Sejak Kamis
malam hingga Jumat pagi, antrean kendaraan mengular 8 kilometer dari Sungai
Bambu hingga gerbang Pelabuhan Tanjung Priok (Kompas, 18/4/2025).
Akses menuju Pelabuhan Tanjung Priok hanya mengandalkan
jalan raya. Sementara akses jalan rel sudah tidak begitu diminati, selain mahal
juga tidak praktis. Menggunakan jalan rel, lebih mahal ketimbang jalan raya.
Menggunakan jalan rel, mahal, disebabkan menggunakan BBM non subsidi, masih
dikenakan PPN 11 persen dan dikenakan track access charge (TAC).
Moda transportasi jalan umumnya lebih murah jika digunakan
untuk angkutan yang jaraknya relatif pendek, yakni kurang dari 500 km, untuk
kereta api lebih kompetitif pada jarak menengah antara 500 – 1.500 km dan untuk
jarak lebih dari 1.500 km moda transportasi laut akan lebih murah (Rodrigue and
Comtois,2006).
Di laut tidak ada pedoman (guidelines) untuk menghitung
kapasitas pelabuhan ( port capacity ) seperti bandara ( airport ). Pembangunan
di Pelabuhan Tanjung Priok memperbesar terus kapasitas sisi laut, namun
kapasitas sisi darat tidak dikembangkan. Dalam perhitungan kapasitas harus
dimasukkan ketersediaan tempat parkir truk, toilet dan lain-lain. Kapasitas
yang paling kecil atau minimal itulah yang harus dipakai sebagai patokan.
Jika hal yang sangat mendasar itu tidak menjadi perhatian,
maka kemacetan lalu lintas ini akan terus terjadi. Kawasan Pelabuhan Tanjung
Priok harus ditata ulang termasuk area penyangga ( buffer zone ) antara
pelabuhan dengan lingkungan pertokoan dan pemukiman harus ada jarak minimal 1
km daerah buffer zone harus bebas dari bangunan. Kita harus ikuti layout asli
kawasan pelabuhan zaman Hindia Belanda dengan batas pelabuhan itu Cempaka Mas
dan sampai ke timur.
Uang taping untuk parkir sebesar Rp 17.500 sekali masuk
Pelabuhan Tanjung Priok sangat memberatkan pengemudi truk. Hal ini dibayar
dengan uang jalan para pengemudi truk.
Perparkiran adalah konsesi dari pemerintah. Biaya biaya
semacam ini selain menyebabkan ekonomi biaya tinggi ( high cost ), hal ini juga
tidak jelas maksud dan manfaatnya. Penarikan biaya pada ranah publik harus
jelas peruntukan dan manfaatnya. Ruang publik bukan untuk sebagai ladang
penghasil uang, tapi sudah ada aturannya.
Jika setiap usaha di ruang publik terutama yang sifatnya
untuk pelayanan umum seperti pelabuhan, jalan tol, dan lain-lain, kebijakanya
mestinya tidak boleh untuk mencari keuntungan perusahaan, akan tetapi sifatnya
hanya cost recovery saja.
Maka dari itu tidak heran biaya logistik ( cost logistic )
di Indonesia sangat mahal, dikarenakan pemerintah salah menerapkan konsep
kebijakan. Jika dibandingkan dengan negeri tetangga, seperti Malaysia,
Thailand, Vietnam, maka biaya produksi (production cost) barang di Indonesia jauh
lebih tinggi. Selain cost logistic , juga biaya perijinan yang ruwet dan mahal.
Hal ini juga masih harus menanggung biaya oknum Aparat Penegak Hukum (APH) dan
preman yang tambah hari tambah marak.
Semua biaya biaya tambahan seperti ini sangat menjadi beban
sehingga Indonesia kehilangan daya saing dan kebijakan pemerintah yang sering
tidak berpihak untuk lokal.
Disamping itu, kejadian itu merupakan dampak dari kesalahan
kebijakan yang diterapkan pemerintah. Pada angkutan Lebaran, pemerintah terlalu
lama membatasi (aktivitas) operasional logistik, bahkan sampai 16 hari.
Pembatasan operasional angkutan logistik semestinya tidak boleh lebih dari lima
hari.
Kondisi itu menyebabkan bongkar muat di pelabuhan menumpuk,
bahkan tersendat. Kondisi ini dikhawatirkan menghambat pertumbuhan ekonomi
mengingat kelancaran distribusi logistik menjadi salah satu indikator
perputaran ekonomi.
Di sisi lain, kemacetan parah yang terjadi juga jadi
pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih mengedepankan angkutan barang berbasis
rel dibanding jalan raya. Sebenarnya, di zaman Belanda, jalur rel sudah
terhubung dengan dermaga. Tujuannya, agar alur angkutan barang bisa lebih
lancar. Namun, kini hampir semua jalur itu diputus. Tersisa hanya di Pelabuhan
Tanjung Intan (Cilacap).
Sejumlah akses pelabuhan di jaman Belanda sudah lengkapi
dengan jalan rel dan area penyangga, seperti di Pelabuhan Belawan (Medan),
Pelabuhan Teluk Bayur (Padang), Pelabuhan Panjang (Lampung), Pelabuhan Tanjung
Priok (Jakarta), Pelabuhan Tanjung Emas (Semarang), Pelabuhan Juwana (Pati),
Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya). Sekarang area penyangga itu telah berubah
fungsi menjadi pemukiman dan perumahan.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengevaluasi kebijakan itu
agar tidak terulang. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan lagi akibat
kesalahan kebijakan dan pada akhirnya juga negara merugi, karena pertumbuhan
ekonominya tidak tercapai.(***)