ANGKAT BICARA: Prof. Agus Taufik Mulyono bicara soal sistem transportasi indonesia.(pribadi)
Jakarta, Sindotime-Indonesia selama ini menghadapi tantangan
besar dalam pengelolaan transportasi yang tersebar dalam berbagai moda dan
simpul—jalan raya, laut, udara, dan rel—yang dikelola secara sektoral dan
sering kali berjalan sendiri-sendiri. Dalam konteks inilah, lahirnya Direktorat
Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda (Ditjen ITM) di bawah Kementerian
Perhubungan membawa angin segar. Bukan sekadar unit tambahan, Ditjen ITM hadir
sebagai katalisator untuk membangun keterpaduan sistemik antarmoda yang selama
ini belum terwadahi secara utuh.
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyambut positif
pembentukan Ditjen ITM. Melalui policy brief berjudul “Membangun
Arsitektur Integrasi Transportasi Nasional yang Berfungsi, Inklusif, dan
Transformasional”, MTI menawarkan pandangan strategis dan rekomendasi
konkret untuk memperkuat peran Ditjen ITM. Dokumen ini disusun sebagai
pendamping akademis atas presentasi resmi Ditjen ITM yang telah dipaparkan pada
25 Juli 2025.
Peran Ditjen ITM:
Dari Koordinasi ke Harmonisasi
Ketua Umum MTI, Tory Damantoro, menegaskan bahwa Ditjen ITM
tidak bermaksud mengambil alih peran direktorat sektoral yang selama ini
menangani masing-masing moda transportasi. Sebaliknya, Ditjen ITM berfungsi
sebagai “rumah bersama” bagi upaya integrasi yang selama ini belum
memiliki otoritas yang jelas. “Fungsinya bukan untuk menumpuk wewenang, tapi
menciptakan ruang koordinasi yang memungkinkan semua moda saling terhubung,”
jelasnya.
MTI memandang bahwa integrasi transportasi bukan sekadar
pembangunan fisik yang menyatukan halte dan stasiun. Lebih dari itu, ia
mencakup aspek kelembagaan, digitalisasi sistem, dan rekayasa operasional demi
menjamin konektivitas antarmoda yang efisien, inklusif, dan berkelanjutan.
Pilar Strategis
Ditjen ITM: Digital, Fisik, dan Layanan
Prof. Agus Taufik Mulyono (Prof ATM), Ketua Majelis Profesi
dan Etik MTI, menjelaskan bahwa Ditjen ITM memiliki mandat penting dalam
menyatukan fragmentasi kebijakan melalui tiga pilar utama: interoperabilitas
digital, konektivitas fisik, dan kesinambungan layanan logistik maupun
penumpang. Ketiga pilar ini berada di ruang abu-abu birokrasi yang tidak dapat
ditangani oleh direktorat teknis secara terpisah.
Menurutnya, Ditjen ITM harus menjadi penyelaras irama
kebijakan transportasi nasional—bukan sebagai pengendali tunggal, tetapi
sebagai penghubung antarbagian agar sistem bekerja dalam harmoni.
Roadmap Transisi:
Dari Silo Menuju Sinkronisasi
MTI juga menyusun roadmap kelembagaan 2025–2028 untuk
mendukung transisi integrasi transportasi nasional. Strategi ini meliputi:
Alih fungsi bertahap
dari direktorat sektoral ke Ditjen ITM, terutama dalam perencanaan simpul
integrasi, manajemen digitalisasi layanan, dan terminal multimoda.
Penguatan peran
Ditjen ITM dalam sertifikasi dan pembinaan Badan Usaha Angkutan
Multimoda (BUAM).
Pembentukan Badan
Eksekutif Pelaksana Integrasi (BEPI) sebagai unit lintas direktorat
untuk mengawal pelaksanaan integrasi layanan, tiket, dan jadwal antarmoda di
wilayah prioritas.
Selama masa transisi, pendekatan dual governance diusulkan: direktorat sektoral tetap menjalankan
fungsi moda spesifik, sementara Ditjen ITM mengembangkan dan mengawal standar
nasional integrasi.
Standar dan NSPK:
Kerangka yang Menyatukan
Reformasi kelembagaan tidak cukup tanpa reformasi standar.
MTI menyoroti pentingnya penyusunan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan
Kriteria) integrasi yang mencakup:
Aspek fisik:
desain terminal terpadu, zona transit terintegrasi, dan aksesibilitas
universal.
Aspek layanan:
sinkronisasi jadwal dan rute antarmoda, serta keselarasan operasional
antaroperator.
Aspek sistem:
penerapan tiket terpadu, platform digital bersama, dan pelacakan logistik
secara real-time.
Pembagian kerja diusulkan untuk mendukung implementasi NSPK
ini: Direktorat Prasarana bertanggung jawab atas simpul fisik; Direktorat
Sistem dan Layanan merancang interoperabilitas; Direktorat Multimoda membina
dan mengakreditasi BUAM serta mitra pendukung.
Menghidupkan
Ekosistem: Kelembagaan dan SDM
MTI menegaskan bahwa integrasi harus ditopang oleh kelembagaan
yang hidup dan SDM yang mumpuni. Untuk itu, disarankan pembentukan Forum Nasional Integrasi Transportasi,
yang melibatkan kementerian/lembaga, BUMN, pemerintah daerah, operator,
akademisi, dan komunitas pengguna.
Di sisi SDM, MTI mendorong skema sertifikasi lintas moda
bagi pegawai transportasi serta program magang internasional ke institusi
seperti LTA Singapura, TfL London, dan Seoul MTA. Tujuannya, membekali ASN
Ditjen ITM dengan pengalaman dari sistem transportasi yang telah berhasil
mengintegrasikan berbagai moda secara efektif.
Menuju Platform
Nasional Integrasi Transportasi
Sebagai pusat kendali data dan informasi layanan
transportasi nasional, MTI mengusulkan pembangunan Platform Nasional Integrasi Transportasi (PNIT). Platform ini akan
menyediakan informasi jadwal, rute, tiket, serta pelacakan barang secara
real-time dan terintegrasi antaroperator serta instansi.
Integrasi sebagai
Instrumen Pemerataan dan Efisiensi
Lebih dari sekadar efisiensi teknis, integrasi transportasi
juga merupakan instrumen keadilan sosial. MTI menekankan pentingnya memastikan
bahwa sistem ini menjangkau wilayah tertinggal, daerah perdesaan, dan kelompok
masyarakat rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, dan pekerja informal.
Usulan MTI mencakup pengembangan indikator integrasi berbasis sosial-ekonomi, serta penerapan subsidi integrasi untuk kelompok yang
membutuhkan. Prinsip territorial equity
juga menjadi panduan penting dalam perencanaan jaringan multimoda.
Komitmen MTI sebagai
Mitra Transformasi
MTI siap menjadi mitra strategis pemerintah dalam proses
reformasi transportasi nasional. Peran ini mencakup pendampingan penyusunan
NSPK, pengembangan SDM, penguatan kelembagaan, hingga audit kebijakan.
“Transportasi adalah cermin peradaban. Jika sistemnya
terpecah, maka yang tercipta bukan konektivitas, melainkan kekacauan,” tutup
Prof ATM dalam refleksi akhir.(*/zoe)