Manakar Anti Klimak Persiapan Angkutan Mudik Lebaran 2025

KLASIFIKASI: Sebaran rumah di Jabodetabek pada peta analisis rute Jabodetabek residen connexion.(ki darmaningsyas)



Oleh: KI DARMANINGTYAS

(Peneliti di Instran Jakarta)


Antiklimak persiapan angkutan mudik Lebaran 2025 ini
dirasakan ketika arus mudik yang ada tidak semasif seperti yang dibayangkan
sebelumnya. Bukan karena adanya berbagai kebijakan dalam memperpanjang masa
liburan, termasuk kebijakan WFA (Work from Anywhere), melainkan karena jumlah
pemudik memang menurun. Hal itu terlihat dari kondisi di lapangan, di
daerah-daerah tujuan pemudik. Di wilayah DIY misalnya, baik di Kota Yogyakarta
maupun Kabupaten Gunungkidul yang saat arus mudik dan saat Lebaran dipadati
dengan kendaraan pribadi, utamanya mobil berplat polisi non AB, musim mudik
2025 ini terlihat sepi.

Sejumlah testimoni yang melakukan perjalanan pada H-2 sampai
H-1 melewati Tol Transjawa dari arah Jawa Timur misalnya, menyatakan sangat
lancar, termasuk kendaraan yang mengarah ke Jawa Timur pun tergolong sepi.

Data PT Jasa Marga (Pesero) yang dihimpun dari Pintu Tol
Ciawi 1, Cikampek Utama 1, Kalihurip Utama 1 (Jawa Barat), dan Cikupa antara
H-5 sampai H-1 antara arus mudik 2024 dengan 2025 menunjukkan adanya penurunan
selama kurun waktu H-5 sampai H-1. Pada arus mudik 2024 ada 1.045.330 unit
kendaraan, sedangkan pada arus mudik 2025 terdapat 1.004.348 kendaraan atau
turun sebanyak 40.982 kendaraan. Namun puncak arus mudik tetap ada pada H-3,
yaitu sebanyak 231.511 (2024) menjadi 255.027 kendaraan. Ini artinya kebijakan
WFA sepertinya tidak berpengaruh signifikan. Yang ada pengaruh sepertinya libur
lebih awal, hal itu terlihat dari pergerakan pada H-10 dan H-9 yang meningkat
cukup signifikan, yaitu dari 93.568 unit (H-10, 2024) menjadi 161.893 (H-10,
2025) dan dari 116.579 unit (H-9, 2024) menjadi 166.948 unit (H-9, 2025).

Penurunan jumlah kendaraan itu juga terjadi di Pelabuhan
Merak, Banten yang menghubungkan ke wilayah Sumatra. Berdasarkan hasil
monitoring PT ASDP (Pesero) untuk kurun waktu H-10 (21/3) sampai H (31/3), bila
pada mudik Lebaran 2024 terdapat 225.637 kendaraan roda empat yang menyeberang
dari Pelabuhan Merak menjadi 225.400 pada arus mudik 2025 ini atau turun 0,1%.
Namun jumlah penumpang naik 3%, dari 859.521 (2024) menjadi 885.828 (2025).

Penurunan jumlah pemudik tahun 2025 ini sebetulnya sudah
penulis prediksikan sejak sebelum puasa, ketika pemerintah menerapkan kebijakan
efesiensi anggaran. Dampak efisiensi anggaran itu sangat luas dan berpenggaruh
terhadap minat warga untuk melakukan mudik lebaran. ASN-ASN muda, yang masih
punya tanggungan anggsuran rumah dan kendaraan, pasti memilih tidak mudik,
karena selama 3 bulan terakhir mereka tidak mendapatkan tambahan penghasilan,
baik dari perjalanan dinas ataupun kegiatan seremonial, dan konsultansi. Mereka
lebih baik mengefiensikan pendapatannya untuk membayar cicilan rumah dan
kendaraan, sehingga memilih tidak mudik. Bagi kaum lasia, minat untuk bepergian
amat dipengaruhi oleh berita-berita mengenai cuaca ekstrim.

Sedangkan untuk sektor swasta, banyak Perusahaan melakukan
PHK. Hotel hotel dan tempat tempat hiburan juga sepi penggunjung dan ini
dampaknya pada turunnya kesejahteraan karyawan sehingga mereka tidak bisa
mudik, mereka lebih baik menghemat pendapatnya untuk kelangsungan hidup
berikutnya sambil menunggu kepastian nasib mereka.

Persiapan yang Berlebih

Terkait dengan persiapan pemerintah menyambut persiapan
mudik lebaran terasa cukup berlebihan. Hal itu karena mengacu pada hasil survey
Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kementerian Perhubungan yang menyatakan
bahwa 146 juta berpotensi untuk melakukan mudik Lebaran. Atas dasar hasil
survei itulah, pemerintah dengan melibatkan berbagai steakholder merumuskan
kebijakan persiapan penyelenggaran angkutan mudik Lebaran. Sayang dalam
perumusan kebijakan ini hanya mendasarkan hasil survei saja, tidak mendasarkan
pada evaluasi lapangan pelaksaan mudik lebaran 2024 maupun kondisi sosial
ekonomi masyarakat.

Bila mendasarkan pada hasil evaluasi arus mudik Lebaran 2024
dan kondisi perekonomian nasional, maka persiapannya tidak perlu berlebih,
karena pasti jumlah pemudik akan turun, sehingga pelarangan kendaraan truk
sumbu tiga yang terlalu panjang (16 hari) pun tidak diperlukan. Pelarangan
kendaraan truk yang terlalu lama, di satu sisi menurunkan kinerja ekonomi
nasional, dan di sisi lain menyebabkan hilangnya sumber pendapatan selama 16
hari bagi para pengusaha dan awak truk, akhirnya mereka pun tidak bisa mudik.

Kebijakan di Pelabuhan Merak: Mengulangi Kesalahan saat
Nataru

Pengaturan lalu lintas dari arah Jakarta menuju Sumatera
melalui Pelabuhan Merak kalau hanya dilihat dari kepentingan pemudik saja jelas
berhasil, karena tidak ada kemacetan sama sekali, baik menuju arah Pelabuhan
Merak, dan tidak menunggu terlalu lama di Pelabuhan Merak untuk diberangkatkan
oleh kapal penyeberangan. Namun dilihat dari aspek bisnis operator, baik PT
ASDP maupun Gapasdap (Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan
Penyeberangan) bukanlah hal yang menggembirakan karena musim mudik Lebaran yang
diharapkan akan dapat menuai cuan yang banyak, ternyata kecelik. Hal itu karena
kesalahan saat pengaturan arus mudik Nataru 2024 diulangi lagi saat arus mudik
Lebaran 2025 ini. Pada saat Nataru 2024, lalu lintas arah Merak lengang,
terminal pelabuhan kosong, dan tingkat keterisian kapal hanya 30% saja, tapi
arah Pelabuhan BBJ (Bandar Bakau Jaya) di Bojonegara, Banten yang dikhususkan
untuk angkutan truk macet panjang dan antrean truk untuk dapat masuk ke kapal
harus menunggu berjam-jam. Hal yang sama terulang pada saat pengaturan arus
mudik Lebaran 2025. Pada tanggal 25/3 antrean menuju ke Pelabuhan BBJ mencapai
1,2 km, tapi pada saat yang sama terminal Pelabuhan Merak kosong karena sejak
tanggal 24 Maret operasional truk dialihkan ke BBJ dan Ciwandan.

Kebijakan yang keliru ini di satu sisi membuat rugi para
transporter angkutan barang dan distribusi barang pun menjadi terhambat, di
sisi lain para operator angkutan penyeberangan, baik PT ASDP (Pesero) maupun
Gapasdap hanya bisa gigit jari saja. Semoga kesalahan seperti ini tidak
terulang lagi di masa mendatang. Sebetulnya kesalahan ini dapat terhindarkan
kalua pengambil kebijakan mau mendengarkan suara dari bawah, tidak hanya
berdasarkan insting saja.(***)