Oleh : DJOKO SETIJOWARNO
SIRENE dan rotator, yang dikenal sebagai strobo, adalah alat
yang dirancang untuk memberikan peringatan darurat. Namun, penggunaan yang
tidak tepat seringkali membuat masyarakat menolaknya. masyarakat sudah cukup
gerah dengan kebisingan di jalanan.
Penyebab penolakan
Pertama, penyalahgunaan dan hak istimewa yang tidak tepat.
Alasan paling mendasar adalah penyalahgunaan. Masyarakat sering melihat
kendaraan pribadi atau pejabat yang bukan dalam keadaan darurat menggunakan
strobo untuk menerobos kemacetan. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa strobo
adalah simbol hak istimewa dan bukan alat untuk keselamatan publik. Penggunaan
yang tidak pada tempatnya ini menciptakan rasa tidak adil dan memicu kemarahan.
Kedua, gangguan dan kebisingan. Suara sirene yang nyaring
dapat sangat mengganggu, terutama di lingkungan padat penduduk atau di tengah
malam. Gangguan ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga dapat
menimbulkan stres, bahkan memicu kecemasan. Orang tua, orang sakit, atau mereka
yang ingin beristirahat sering merasa terganggu oleh kebisingan yang
berlebihan.
Ketiga, regulasi yang kurang tegas. Meskipun sudah ada
aturan yang mengatur siapa saja yang berhak menggunakan sirene dan strobo
(seperti mobil ambulans, pemadam kebakaran, dan polisi) penegakan hukumnya
sering kali dianggap lemah. Ketidaktegasan ini membuat banyak orang berani
menggunakannya tanpa izin, memperburuk masalah penyalahgunaan.
Keempat, mengurangi kepercayaan publik. Ketika sirene dan
strobo digunakan secara sembarangan, kepercayaan masyarakat terhadap sistem
darurat bisa menurun. Saat mendengar sirene, masyarakat tidak lagi yakin apakah
itu benar-benar situasi darurat atau hanya kendaraan yang ingin mencari jalan
pintas. Akibatnya, ketika ada situasi darurat yang nyata, respons masyarakat
untuk memberikan jalan mungkin tidak secepat atau setanggap seharusnya.
Regulasi dan saksi
Pengguna jalan yang memperoleh hak utama telah diatur dalam
Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut (a) kendaraan pemadam
kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; (b) ambulans yang mengangkut orang
sakit; (c) kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas;
(d) kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia; (e) kendaraan
pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu
negara; (f) iring-iringan pengantar jenazah; dan (g) konvoi dan/atau kendaraan
untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Pasal 135 dalam Undang-Undang yang sama, menyebutkan
Kendaraan yang mendapat hak utama harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi
sirene.
Ada saksi yang diberikan bagi setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau
hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi
dan sinar dapat dipidana kurungan maksimal satu bulan atau denda paling banyak
Rp 250 ribu (pasal 287 ayat 4).
Sanksi yang diberikan terlalu rendah dan sudah seharusnya
masuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Sanksi pidana dan denda harus ditinggkan, sehingga ada efek
jera bagi yang melanggar aturan itu.
Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat
dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene (pasal 59). Lampu isyarat
terdiri atas warna merah; biru; dan kuning.
Lampu isyarat warna merah atau biru serta sirene berfungsi
sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama. Lampu isyarat warna
kuning berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain.
Penggunaan lampu isyarat dan sirene, seperti berikut ini.
Llampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lampu isyarat warna merah dan sirene
digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional
Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah.
Lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor
patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan
angkutan barang khusus
Pada dasarnya menggunakan sarana dan prasana jalan untuk
keperluan berlalu lintas adalah hak asasi setiap orang. Semua orang mempunyai
hak yang sama untuk menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Tidak ada seorang
pun mempunyai hak untuk diutamakan, kecuali didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang ada memberikan peluang
bagi orang tertentu atau kendaraan yang digunakan bagi keperluan tertentu
mendapatkan prioritas menggunakan jalan untuk berlalu lintas.
Esensi dari pengawalan tidak lain memang memberikan
pengamanan, baik terhadap kendaraan yang dikawal, maupun pengguna jalan lain
yang berada di sekitar kendaraan yang dikawal. Karena menyangkut pengamanan,
pihak yang paling berwenang adalah Polri. Karena pengamanan adalah bagian dari
tugas pokok Polri.
Patwal adalah unit kepolisian yang bertugas mengawal konvoi
kendaraan VIP, iring-iringan bantuan kemanusiaan, atau kendaraan prioritas
lainnya seperti pemadam kebakaran dan ambulans. Dengan kemampuan khusus,
personel Patwal bertugas memastikan perjalanan bebas hambatan bagi
kendaraan-kendaraan yang mereka kawal.
Penolakan ini tidak hanya sekadar ketidaknyamanan, tetapi
memiliki dampak serius. Hal ini memicu kampanye kesadaran, petisi, dan protes
di media sosial. Masyarakat semakin vokal menuntut penegakan hukum yang lebih
ketat dan penggunaan strobo yang bertanggung jawab. Intinya, penggunaan sirene
dan rotator yang tidak sesuai aturan menciptakan ketidakadilan, mengganggu
ketenangan, dan pada akhirnya merusak esensi dari tujuannya sebagai alat keselamatan.
Langkah Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen
Pol. Agus Suryonugroho untuk menertibkan penggunaan sirene dan rotator di jalan
raya patut diapresiasi. Kebijakan yang bersifat sementara ini merupakan langkah
awal yang baik untuk mengembalikan aturan yang berlaku. Sebagian besar
masyarakat setuju bahwa penertiban ini tidak seharusnya hanya sementara.
Penggunaan sirene dan rotator di luar peruntukannya sudah menjadi masalah
kronis yang memicu ketidakadilan dan kekacauan di jalan.
Dalam keseharian dengan hirup pikuk kemacetan di Kota
Jakarta, sebaiknya pengawalan dibatasi untuk Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan pejabat negara yang lain tidak perlu dikawal seperti halnya Presiden
dan Wakil Presiden.(***)