Oleh : SAIDUL AZIZ MAHENDRA
PERNAHKAH kita terdiam sejenak di tengah
riuh rendahnya klakson dan teriakan di sebuah persimpangan jalan yang lumpuh
oleh lautan massa, lalu bertanya pada diri sendiri. Bukankah sudah ada lembaga
legislatif yang terhormat untuk menampung suara mereka? Mengapa jalanan, dengan
segala panas, debu, dan risikonya, masih menjadi pilihan utama untuk
menyuarakan keresahan? Pertanyaan ini bukanlah sekadar keluhan atas kemacetan
sesaat, melainkan sebuah gerbang untuk memahami dinamika krusial dalam sebuah
negara yang menyebut dirinya demokratis.
Jalanan yang bersuara bukanlah
anomali, melainkan sebuah cerminan, sebuah barometer yang mengukur seberapa
sehat sesungguhnya hubungan antara penguasa dan rakyatnya. Ia menjadi relevan
justru ketika kanal-kanal formal komunikasi politik dirasa tersumbat, lamban,
atau bahkan tuli terhadap aspirasi yang berkembang di akar rumput. Demonstrasi,
dalam esensinya, adalah bentuk paling murni dari partisipasi politik di luar
bilik suara, sebuah pengingat bahwa kedaulatan sejatinya berada di tangan
rakyat, tidak hanya setiap lima tahun sekali.
Bagi saya, fenomena ini bukanlah sebuah
kegagalan demokrasi, melainkan sebuah mekanisme koreksi yang inheren di
dalamnya. Ketika ruang publik, meminjam istilah Jürgen Habermas bergeser dari
ruang-ruang diskusi formal ke aspal jalanan, itu adalah sinyal kuat adanya democratic
deficit, sebuah kesenjangan antara kebijakan yang dihasilkan dan kehendak
kolektif yang sesungguhnya. Kebijakan pembangunan, yang seringkali dibingkai
dalam narasi teknokratis penuh angka pertumbuhan dan proyek-proyek strategis,
acap kali lupa menyertakan dimensi manusiawi: keadilan sosial, keberlanjutan
ekologis, dan hak-hak warga negara. Jalanan menjadi panggung di mana
narasi-narasi alternatif ini diperjuangkan. Ia menjadi medium bagi mereka yang
tak terwakili, yang suaranya sayup-sayup di tengah dengung mesin pembangunan
yang masif. Demonstrasi mengubah individu-individu dengan keluhan personal
menjadi sebuah kekuatan kolektif dengan tuntutan politis, memaksa isu yang
tadinya terpinggirkan menjadi agenda utama nasional.
Lihat saja gelombang aksi yang terjadi
sepanjang tahun 2025 ini. Dari penolakan terhadap kenaikan tunjangan anggota
dewan yang dianggap tidak peka di tengah kesulitan ekonomi, hingga protes besar
buruh dan mahasiswa yang menuntut upah layak, pembatalan PHK massal, serta
reformasi sistem perpajakan yang lebih adil. Data terbaru dari berbagai aksi
yang mengemuka, seperti gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” yang
digelorakan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sipil, menunjukkan
substansi masalah yang sangat mendasar. Tuntutan mereka bukan lagi sebatas isu
sektoral, melainkan menyangkut reformasi struktural: pembersihan parlemen,
pengesahan UU Perampasan Aset, hingga penghentian kekerasan aparat. Fakta bahwa
gerakan ini mampu mengkonsolidasikan tuntutan dari 211 organisasi masyarakat
sipil, serikat buruh, hingga petisi daring yang didukung puluhan ribu orang,
menandakan akumulasi kekecewaan yang meluas dan mendalam.
Ketika survei seperti
yang dirilis Indonesia Political Opinion (IPO) pada Mei 2025 menunjukkan
tingkat kepercayaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada di
angka 45.8%, jauh di bawah institusi kepresidenan atau militer, maka aksi turun
ke jalan menjadi sebuah konsekuensi logis dari krisis representasi tersebut.
Jalanan bersuara karena gedung parlemen dianggap lebih banyak bersuara untuk
kepentingan elite, bukan untuk kepentingan publik yang memilih mereka.
Tentu, kita tidak bisa menyangkal adanya peristiwa
negatif dari sebuah demonstrasi. Gesekan dengan aparat, perusakan fasilitas,
dan kelumpuhan ekonomi sesaat adalah risiko yang selalu membayangi. Namun,
memfokuskan narasi hanya pada aspek disruptifnya adalah sebuah penyederhanaan
yang berbahaya. Gangguan yang ditimbulkan seringkali merupakan sebuah taktik
komunikasi itu sendiri yaitu sebuah cara untuk mengatakan, “Lihat kami,
dengar kami, karena kami tidak akan diam hingga kalian melakukannya.”
Disrupsi adalah harga yang harus dibayar ketika dialog menemui jalan buntu.
Aksi massa yang merespons kebijakan seperti UU Cipta Kerja (Omnibus Law) secara
berkelanjutan, misalnya, bukanlah sekadar penolakan, melainkan sebuah gugatan
fundamental terhadap proses legislasi yang dianggap minim partisipasi publik
dan lebih berpihak pada kepentingan investasi ketimbang perlindungan buruh dan
lingkungan. Meskipun belum semua tuntutan terpenuhi, tekanan publik yang
konsisten terbukti mampu memaksa adanya revisi dan judicial review di Mahkamah
Konstitusi, sebuah bukti nyata bahwa energi jalanan mampu merembes ke dalam
ruang-ruang kekuasaan yang paling formal sekalipun.
Demonstrasi berfungsi sebagai katup
pengaman dalam sebuah sistem demokrasi. Ia adalah mekanisme pelepasan tekanan
sosial yang jika diabaikan justru bisa meledak menjadi konflik yang lebih besar
dan destruktif. Sebuah pemerintahan yang bijak tidak akan melihat demonstrasi
sebagai ancaman terhadap stabilitas, melainkan sebagai umpan balik (feedback)
yang tak ternilai harganya.
Suara-suara di jalanan menyoroti titik-titik buta
dalam perencanaan pembangunan, mengungkap konsekuensi tak terduga dari sebuah
regulasi, dan mengingatkan para elite politik bahwa kekuasaan mereka berasal
dari mandat rakyat yang bisa ditarik kembali. Mengkriminalisasi atau merepresi
gerakan protes sama saja dengan memecahkan termometer karena tidak suka dengan
suhu panas yang ditunjukkannya. Penyakitnya tidak akan sembuh, malah akan
semakin parah tanpa terdeteksi. Sejarah Indonesia, terutama pada momen
Reformasi 1998, adalah bukti paling sahih bagaimana akumulasi aspirasi yang
tersumbat mampu meruntuhkan rezim yang paling kokoh sekalipun.
Pada akhirnya, relevansi demonstrasi dalam
pembangunan terletak pada kemampuannya untuk memperluas definisi
“pembangunan” itu sendiri. Ia menantang paradigma pembangunan yang
hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur fisik, dan
menuntut pembangunan yang berpusat pada manusia, yang adil, dan berkelanjutan.
Suara-suara dari jalanan adalah pengingat bahwa angka-angka dalam laporan
statistik adalah representasi dari kehidupan manusia dengan segala harapan dan
kekhawatirannya.
Oleh karena itu, ketika jalanan kembali bersuara, mungkin
tugas kita bukanlah sekadar mengeluhkan kemacetannya, tetapi mencoba mendengar
lebih saksama pesan apa yang sedang diteriakkan. Karena dalam deru dan gaduh
itu, seringkali tersimpan denyut nadi kehendak kolektif yang paling jujur, sebuah
pengingat bahwa pembangunan sejatinya adalah untuk kesejahteraan bersama, bukan
hanya untuk kemegahan segelintir elite semata. Suara mereka adalah bagian
esensial dari narasi kebangsaan yang terus bergerak dan mencari bentuknya yang
paling ideal.(***)