Oleh : MUHAMMAD AKBAR
KETIKA taman bermain terlalu jauh dan rekreasi terlalu
mahal, odong-odong jadi jawabannya. Tapi adakah kita bertanya, amankah mereka?
Di tengah terbatasnya akses masyarakat terhadap hiburan dan
transportasi murah yang layak, mobil odong-odong hadir sebagai alternatif yang
kian digemari. Baik di tengah hiruk-pikuk kota maupun kesederhanaan desa,
kendaraan ini berkembang dari sekadar hiburan anak-anak menjadi sarana
pelesiran murah bagi keluarga berpenghasilan rendah. Selain menjadi cara
sederhana untuk melepas penat dari rutinitas, odong-odong juga memberi ruang
bagi warga untuk berinteraksi dengan tetangga dan menghadirkan keceriaan bagi
anak-anak mereka.
Odong-odong mudah dikenali saat melintas di lingkungan
permukiman. Kendaraan ini dihiasi warna-warni cerah, boneka lucu, lampu
berkedip, dan diiringi alunan lagu anak-anak dari pengeras suara. Dengan
merogoh kocek Rp 5.000 sampai Rp 10.000, satu keluarga bisa menikmati
petualangan keliling kampung tanpa perlu pergi jauh ke taman kota atau tempat
wisata berbayar. Bagi anak-anak, ini adalah hiburan yang sederhana namun
menyenangkan; bagi orang tua, ini menjadi solusi praktis di tengah minimnya
pilihan rekreasi yang terjangkau.
Murah dan Merakyat, tapi Berisiko
Sayangnya, di balik keceriaan itu, mobil odong-odong
menyimpan persoalan keselamatan yang tidak bisa disepelekan. Sebagian besar
kendaraan ini merupakan hasil modifikasi dari mobil tua, seperti pick-up,
minibus, atau bahkan bajaj, yang disulap menjadi wahana hiburan keliling tanpa
standar keamanan yang memadai. Tambahan tempat duduk di bak belakang, atap
ringan yang hanya terbuat dari rangka dan terpal atau fiber tipis, hingga
wahana mini seperti ayunan kecil, sering kali dipasang secara seadanya tanpa perhitungan
teknis mengenai stabilitas, distribusi beban, dan perlindungan penumpang.
Pada umumnya, odong-odong tidak dilengkapi fasilitas
pengaman yang layak. Sabuk keselamatan tidak tersedia, pelindung di sisi tempat
duduk pun tidak ada, dan anak-anak dibiarkan duduk di bak terbuka. Banyak
kendaraan yang digunakan berasal dari rangka lama yang tidak diperkuat kembali,
sehingga rawan rusak bila terjadi benturan. Dalam kondisi seperti ini,
penumpang terutama anak-anak berisiko terlempar atau tertimpa bagian kendaraan
bila kecelakaan terjadi. Potensi cedera serius pun tidak bisa diabaikan,
mengingat kendaraan ini tidak dirancang untuk membawa penumpang secara aman.
Masalah keselamatan semakin kompleks karena odong-odong juga
beroperasi tanpa status hukum yang jelas. Sebagian besar kendaraan ini melintas
di jalan umum tanpa izin resmi sebagai angkutan penumpang, tidak memiliki rute
tetap, dikemudikan oleh pengendara tanpa pelatihan khusus, dan tidak disertai
perlindungan asuransi bagi penumpangnya. Padahal praktik ini jelas bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Namun lemahnya penegakan hukum, ditambah rasa toleransi masyarakat
terhadap para pelaku usaha kecil yang menggantungkan hidup dari odong-odong, membuat
aktivitas ini terus berlangsung tanpa pengawasan yang memadai.
Kecelakaan Berulang, Penertiban Justru Ditentang
Kita tentu masih mengingat peristiwa odong-odong yang
tertabrak kereta api di Serang pada 2022, atau kasus tergulingnya kendaraan
serupa di Jawa Timur dan sejumlah daerah lainnya. Kejadian-kejadian ini menjadi
pengingat bahwa anak-anak yang hanya ingin menikmati hiburan sederhana justru
dihadapkan pada risiko keselamatan yang serius. Setiap kecelakaan meninggalkan
luka dan kesedihan, tetapi respons yang muncul sering kali hanya bersifat
sesaat. Ramai dibicarakan di media beberapa hari, lalu berlalu tanpa ada upaya
perbaikan yang menyeluruh. Tanpa regulasi yang kuat dan penegakan hukum yang
konsisten, potensi kecelakaan serupa akan terus ada, sementara masyarakat
perlahan menganggapnya sebagai hal yang lumrah.
Ironisnya, ketika aparat mencoba melakukan penertiban, tidak
sedikit warga yang justru memberikan dukungan kepada pengemudi odong-odong.
Sikap ini dapat dipahami, karena mereka bukan pelaku kejahatan, melainkan warga
biasa yang menggantungkan hidup dari jasa hiburan keliling ini. Apalagi,
layanan odong-odong masih diminati oleh banyak keluarga, terutama di kawasan
padat yang kekurangan ruang publik dan sarana rekreasi yang layak. Di tengah
mahalnya biaya rekreasi, terbatasnya ruang bermain anak, dan tidak tersedianya
angkutan keluarga yang terjangkau, odong-odong seolah menjadi satu-satunya
pilihan yang bisa dijangkau.
Namun, keterbatasan ekonomi tidak bisa dijadikan pembenaran
untuk mempertahankan praktik yang mengandung risiko tinggi. Setiap kali
penertiban ditolak, dan setiap kali kecelakaan berlalu tanpa tindak lanjut,
kita sebenarnya sedang membiarkan anak-anak terus hidup dalam ancaman.
Penataan Odong-Odong: Antara Perlindungan dan Penghidupan
Melarang sepenuhnya operasional odong-odong memang bukan
langkah yang bijak, apalagi mengingat banyak pelaku usaha kecil yang
menggantungkan penghidupan dari kendaraan ini. Namun di sisi lain,
membiarkannya terus beroperasi tanpa aturan yang jelas juga menghadirkan risiko
besar bagi keselamatan publik, khususnya anak-anak. Oleh karena itu, negara
perlu hadir dengan pendekatan yang lebih adil dan terukur, yakni kebijakan yang
mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi pelaku usaha, disusun dengan standar
teknis yang dapat dijalankan di lapangan, dan diterapkan secara konsisten untuk
jangka panjang.
Sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah,
merancang skema penataan odong-odong yang berpijak pada prinsip mengutamakan
keselamatan publik tanpa mematikan usaha masyarakat kecil. Salah satu langkah
yang bisa diambil adalah program konversi kendaraan agar lebih aman dan sesuai
standar. Program ini perlu dilengkapi dengan panduan modifikasi teknis
sederhana, mencakup sistem pengereman, kelistrikan, batas kecepatan, serta
perlindungan bagi penumpang anak-anak. Selain itu, pelatihan keselamatan bagi
pengemudi juga sangat diperlukan, tidak sekadar soal keterampilan mengemudi,
tetapi juga kesadaran akan tanggung jawab membawa anak-anak sebagai penumpang
utama.
Agar tetap bisa beroperasi tanpa membahayakan publik,
odong-odong sebaiknya diberi izin terbatas di ruang-ruang yang aman, seperti
area parkir luas, alun-alun kota, atau kawasan wisata keluarga yang dikelola
pemerintah daerah. Pendekatan ini tidak hanya menjaga keselamatan masyarakat,
tapi juga tetap memberi ruang hidup bagi pelaku usaha kecil yang menggantungkan
penghasilan dari kendaraan ini.
Tak berhenti sampai di situ, pemerintah daerah juga dapat
bermitra dengan sektor swasta untuk menghadirkan alternatif hiburan yang murah
namun tetap aman. Misalnya, dengan menyediakan bus wisata berukuran kecil yang
nyaman dan menjangkau permukiman, menghadirkan taman bermain keliling berupa
truk atau mobil yang dilengkapi permainan edukatif yang bisa berpindah dari
satu lokasi ke lokasi lain, atau mengembangkan sistem transportasi lokal
berbasis desa yang dirancang khusus untuk kegiatan warga, seperti antar-jemput
anak atau rekreasi warga sekitar. Inisiatif-inisiatif semacam ini akan
memperluas pilihan hiburan rakyat tanpa harus mengorbankan keselamatan,
sekaligus menunjukkan bahwa negara benar-benar hadir bukan hanya menertibkan,
tetapi juga menyediakan jalan keluar.
Penataan Odong-Odong: Harmonisasi Perlindungan Anak dan
Usaha Kecil
Odong-odong bukan sekadar kendaraan hiburan. Ia menjadi
cerminan nyata bahwa akses terhadap rekreasi yang aman dan transportasi yang
layak masih belum merata, masih menjadi barang mewah bagi banyak keluarga
berpenghasilan rendah. Keterbatasan ekonomi memang patut dipahami, tetapi tidak
bisa terus dijadikan alasan untuk membiarkan praktik yang membahayakan
keselamatan anak-anak setiap hari.
Peran negara tidak berhenti pada penegakan hukum semata,
tetapi juga mencakup tanggung jawab melindungi seluruh warganya, terutama anak-anak
dan kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap risiko. Sudah saatnya mobil
odong-odong dipandang bukan sekadar ‘hiburan murah meriah’, melainkan sebagai
isu keselamatan publik yang mendesak. Dengan pendekatan yang tepat, kegembiraan
yang ditawarkan odong-odong tetap bisa dijaga, tanpa harus mengorbankan
keselamatan para penumpangnya.
Penataan yang bersifat manusiawi namun dijalankan dengan
ketegasan perlu menjadi fondasi bagi kota yang lebih aman, lebih adil dalam
memberi perlindungan, dan lebih ramah terhadap kebutuhan seluruh lapisan
masyarakat. Terutama bagi mereka yang selama ini nyaris tak punya pilihan,
karena terbatasnya akses terhadap hiburan yang layak, transportasi yang aman,
dan ruang publik yang mendukung kehidupan keluarga kecil di tengah
keterbatasan.(***)