Oleh : DJOKO SETIJOWARNO
PARKIR liar masih marak di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI
perlu mengevaluasi dan mengaudit manajemen parkir di badan jalan. Hal ini
termasuk urgensi parkir di titik-titik tertentu, termasuk keberadaan jukir
(juru parkir) liarnya .
Sejumlah trotoar diokupansi oleh sepeda motor sebagai lahan
parkir. Ada hak pengguna jalan lain yang dilanggar dalam parkir liar, seperti
keamanan dan kenyamanan. Parkir liar di badan jalan umumnya retribusi masuk ke
kantong pribadi, bukan pendapatan asli daerah. Sejumlah titik parkir dikuasai
ormas, bisa jadi pada masa tertentu ada perjanjian tidak tertulis dengan kepala
daerah sebagai pendukung kemenangan hingga terpilih.
Bersumber dari Unit Pengelola Perpakiran Dinas Perhubungan
Provinsi DKI Jakarta, pendapatan mengalami masa pasang surut. Selama 10 tahun
terakhir, tertinggi di tahun 2017 sebesar Rp 107, 898 miliar. Tahun 2014
sebesar Rp 26,781 miliar, tahun 2015 (Rp 39,22 miliar), tahun 2016 (Rp 52,387
miliar), tahun 2017 (Rp 107,898 miliar), tahhun 2018 (Rp 104, 557), tahun 2019
(Rp 83, 615 miliar), tahun 2020 (Rp 49,963 miliar), tahun 2021 (Rp 42, 431
miliar), tahun 2022 (Rp 51,343 miliar), tahun 2023 (Rp 57,449 miliar), tahun
2024 (Rp 57, 220 miliar), dan hingga Maret tahun 2025 (Rp 13,738 miliar).
Saat ini, Unit Pengelola Perparkiran Dinas Perhubungan
Provinsi DKI Jakarta hanya melaksanakan pengelolaan parkir bukan di tepi jalan
( off street parking ) di 69 lokasi (11 persen) dari 615 lokasi parkir yang
ada. Parkir off street berupa kantor pemerintah, gedung parkir, pelataran
parkir, terminal, pasar, dan lain-lain.
Parkir off street adalah parkir yang lokasinya tidak berada
di bahu jalan, melainkan di tempat parkir khusus seperti gedung parkir atau
taman parkir. Parkir ini dikelola secara profesional dan tidak mengganggu lalu
lintas jalan
Kebutuhan layanan perparkiran yang tinggi di Jakarta belum
dibarengi dengan penyediaan fasilitas parkir yang memadai. Itu disebabkan
beberapa hal, seperti kebijakan pembatasan atau pengurangan jumlah ruang parkir
secara bertahap, keterbatasan lahan, keterbatasan anggaran pembangunan
fasilitas parkir, serta dampak revitalisasi trotoar.
Kendaraan parkir liar sudah dilakukan penindakan. Untuk roda
tiga dan roda empat diderek dan operasi cabut pentil. Kendaraan kemudian
dipindahkan ke tempat penyimpanan seperti di IRTI atau kantor suku dinas
perhubungan hub di lima wilayah.
Sementara untuk roda dua, diangkut dengan truk atau
dilakukan operasi cabut pentil. Kendaraan lalu dibawa ke tempat penyimpanan
kendaraan dan pemilik dikenai tilang oleh polisi. Pemilik juga dikenai sanksi
denda Rp 500.000 per hari.
Namun belum memberikan efek jera, masih tetap saja ada
aktivitas parkir di tepi jalan yang sudah diberi rambu dilarang parkir. Namun
tidak sedikit masih melakukannya di lokasi yang sama ketika petugas sedang
tidak berada mengawasi.
Kompensasi politik
Masalah pengelolaan parkir bukan hanya soal kolekting
uangnya dan kebocoran semata. Namun, parkir belum dikelola sebagai alat dukung
atau instrumen untuk memecahkan masalah kemacetan dan mengendalikan penggunaan
kendaraan bermotor pribadi secara berlebihan. Seolah-olah, ada pembiaran
praktik pengelolaan parkir seperti sekarang, karena sudah nyaman dengan kondisi
seperti ini. Tak mengherankan jika perparkiran hampir di sejumlah daerah telah
menjadi komoditas kompensasi politik para penguasa daerah.
Mulanya, parkir dianggap sebagai pelayanan publik yang mesti
disediakan pemerintah kepada pengguna jalan yang menggunakan kendaraan
bermesin. Akibat makin banyaknya populasi kendaraan pribadi dan juga makin
termanjakan, melupakan hak pengguna jalan lain, terutama angkutan umum,
pesepeda dan pejalan kaki. Bahkan, ketika terdapat rambu Larangan Parkir, para
pemilik kendaraan itu tetap saja acuh dan tak menghiraukan terganggunya
kepentingan publik yang menyebabkan menurunkan kapasitas jalan.
Pengelolaan parkir bukan untuk memanjakan dan memudahkan
para pengguna kendaraan bermotor. Penetapan tarif parkir tinggi adalah untuk
menekan penggunaan kendaraan bermotor. Mengurangi secara signifikan parkir di
tepi jalan bagi yang menyebabkan kemacetan jalan raya.
Persoalan parkir tiap saat selalu menjadi komoditas berita
yang tiada akhir. Persoalannya berkutat pada tingginya kebocoran penerimaan
retribusi parkir, tak maksimalnya target dari pendapatan retribusi, tingginya
intensitas penggunaan parkir di tepi jalan, kurang optimumnya pelayanan jasa
parkir terhadap pengguna jasa parkir, banyaknya aktivitas parkir liar.
Dikelola dengan benar
Sesungguhnya, parkir dapat dilihat dalam tiga dimensi, yaitu
sebagai bagian manajemen lalu lintas ( traffic management ) yang merupakan sub
sistem transportasi, sumber pendapatan asli daerah (PAD) dan layanan publik.
Memadukan ketiga hal itu adalah cara terbaik untuk menuntaskan persoalan parkir
yang tak kunjung usai. Juga mengendalikan mobilitas kendaraan pribadi, sehingga
tarif parkir dapat dinaikan beberapa kali lipat.
Sekarang sulit menemui ada bukti secarik kertas sebagai
bukti telah membayar parkir di tepi jalan. Perlu mengoptimalkan pengelolaan
parkir supaya menjadi salah satu sumber pembiayaan angkutan umum. Semua
pendapatan dari restribusi parkir masuk ke kas daerah dan selanjutnya dibagi
untuk urusan operasioanal (menggaji juru parkir dan pengawasan, pembinaan
rutin, iuran asuransi, pembelian baju seragam dan lain-lain), sisanya diatur
ada yang masuk ke pembiayaan angkutan umum.
Juru parkir mendapat gaji bulanan sesuai UMR, mendapat BPJS
beserta keluarganya. Ada pembinaan rutin setiap bulan dan pengawasan terhadap
juru parkir.
Kebijakan parkir yang dapat mengubah secara drastis adalah
parkir berlangganan dan zonasi. Makin ke pusat kota tarif parkir makin mahal
dan lahan parkir semakin berkurang (warga diarahkan beralih menggunakan
angkutan umum). Parkir berlangganan bisa mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
Petugas parkir tak perlu menyetor, namun mendapat gaji tetap setiap bulan.
Tak adanya sentuhan langsung pemberian uang menghilangkan
praktek pungutan liar. Memang ada yang dirugikan, yakni pihak-pihak yang selama
ini menguasai areal parkir, karena kompensasi dari sang penguasa. Demi menata
transportasi kota yang lebih baik, pemimpin (kepala daerah) harus berani
mengambil kebijakan yang tak populis sesaat. Tapi selanjutnya akan membuat
transportasi lebih teratur dan tertata.
Jika dikelola dengan benar, parkir dapat membantu mengurangi
kemacetan lalu lintas. Penerapan tarif parkir yang tinggi di pusat kota
(zonasi) dan disertai menyediakan layanan transportasi umum yang memadai
bertarif murah buat masyarakyat, pasti nantinya ada peralihan penggunaan moda
transportasi dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Sekarang, saatnya optimalisasi mengelola parkir dapat
menjadi salah satu sumber pembiayaan angkutan umum di daerah. Selain juga
menata manajemen lalu lintas perkotaan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus
bisa mengoptimalkan potensi parkir di tepi jalan. Jika berhasil akan ditiru banyak
daerah nantinya.(***)