PATROLI: Tim dari BKSDA Sumbar sedang melakukan patroli di lokasi tempat berkeliarannya harimau sumatera.(bksda sumbar)
Agam,
Sindotime-Kehadiran dua ekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di
sekitar jalan lintas Bukittinggi–Medan, tepatnya di wilayah Muaro Batugadang,
Nagari Koto Rantang, Kecamatan Palupuah, Kabupaten Agam, memicu kekhawatiran
warga setempat. Satwa langka yang dilindungi itu dilaporkan terlihat melintas
di area persawahan dan sempat terekam kamera oleh beberapa warga serta
pengendara.
Menanggapi
laporan ini, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat segera
mengirimkan tim lapangan guna melakukan penanganan. Kepala Resor Konservasi
Wilayah II Maninjau, Ade Putra, menyatakan bahwa tim bergerak cepat untuk
memverifikasi keberadaan harimau tersebut.
“Tim
langsung melakukan penyisiran lokasi, wawancara saksi mata, dan berhasil
mengidentifikasi sejumlah jejak serta tanda keberadaan satwa di sekitar
lokasi,” ujar Ade pada Senin (13/10).
Tim gabungan
yang diterjunkan terdiri dari personel BKSDA Sumbar, Centre for Orangutan
Protection (COP), relawan dari Tim Pagari Anak Nagari, serta mahasiswa Fakultas
Kehutanan Universitas Negeri Riau (UNRI). Mereka dijadwalkan melakukan patroli
malam selama tiga hari berturut-turut, sekaligus memasang kamera jebak untuk
memantau pergerakan harimau.
Penampakan
harimau pertama kali dilaporkan pada Sabtu sore (11/10) ketika dua ekor satwa
terlihat di lahan sawah yang tak jauh dari jalan utama. Beberapa jam kemudian,
sekitar pukul 00.30 dini hari Minggu (12/10), harimau kembali terlihat berjalan
di tengah jalan lintas Sumatera oleh pengendara yang melintas.
“Dalam
proses verifikasi, tim sempat melihat langsung sosok harimau di tepi hutan.
Namun hewan tersebut segera menghindar saat didekati,” jelas Ade Putra.
Dari
analisis sementara, BKSDA menduga bahwa kedua harimau tersebut merupakan
sepasang induk yang sedang melintasi koridor habitat mereka. Namun meningkatnya
aktivitas manusia di kawasan tersebut—seperti pertanian, pemukiman, dan lalu
lintas kendaraan—diperkirakan mendorong interaksi tak diinginkan antara manusia
dan satwa liar.
Kondisi ini
mencerminkan tren meningkatnya konflik manusia-satwa liar di wilayah Agam dan
sekitarnya. Sebelumnya, laporan keberadaan beruang madu juga mencuat dari
kawasan perkebunan warga di Agam dan Pasaman Barat.
BKSDA
Sumatera Barat mencatat bahwa penyebab utama meningkatnya konflik satwa liar
adalah menyempitnya habitat alami akibat fragmentasi hutan dan perubahan fungsi
lahan. “Harimau tidak akan keluar dari habitatnya tanpa alasan. Mereka
terdesak, kehilangan ruang hidup dan sumber pakan alami,” tambah Ade.
Wakil Ketua
DPRD Agam, Henrizal, menyoroti pentingnya sinergi antara upaya pelestarian
satwa dan perlindungan keselamatan warga. Ia juga menekankan bahwa kawasan
Palupuh memang merupakan jalur lintas alami berbagai satwa liar, termasuk
harimau dan beruang madu.
“Kami
mendukung penuh langkah BKSDA dalam penanganan ini. Namun keselamatan
masyarakat tetap harus diutamakan. Pemerintah nagari dan warga perlu
meningkatkan kewaspadaan, dan menghindari beraktivitas sendirian di kebun,”
ujar Henrizal.
Situasi ini
menjadi peringatan serius bahwa perlindungan habitat satwa dan pengelolaan
ruang yang berkelanjutan merupakan kunci untuk mengurangi potensi konflik di
masa depan.(*/zoe)