Oleh : DJOKO SETIJOWARNO
(Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata/Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat)
PERMASALAHAN transportasi perkotaan masih memiliki kendala
dari sisi perencanaan, kelembagaan, dan pendanaan. Subsidi transportasi umum
adalah janji Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka dalam
kampanye Pilpres 2023 lalu yang belum direalisasi .
Data dari Bappenas (2025), menyebutkan urbanisasi semakin
meningkat. Pada tahun 2020 sebesar 56,7 persen (155 juta jiwa) tinggal di
perkotaan. Diprediksi pada 2045 sebesar 70 persen masyarakat akan tinggal di
kota. Pembangunan perkotaan menjadi bagian prioritas dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN), difokuskan di 10 Wilayah Metropolitan (WM).
Saat ini 10 WM berkontribusi sekitar 44,34 persen Produk
Domestik Bruto (PDB) Nasional. Ditargetkan pada 2045, 10 WM mampu menyumbang
48,92 persen PDB nasional. Ada 10 wilayah metropolitan prioritas, yaitu
Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Makassar, Semarang, Banjarmasin, Manado,
Denpasar, dan Palembang.
Jumlah penduduk perkotaan di Kawasan Metropolitan tahun 2020,
Metropolitan Jakarta 31,24 juta jiwa, Metropolitan Surabaya 9,92 juta jiwa,
Metropolitan Bandung 9,57 juta jiwa, Metropolitan Semarang 6,57 juta jiwa,
Metropolitan Medan 5,06 juta jiwa, Metropolitan Makassar 2,8 juta jiwa,
Metropolitan Denpasar 2,25 juta jiwa, Metropolitan Balikpapan 3,03 juta jiwa
dan Metropolitan Manado 1,02 juta jiwa.
Belum ada Kelembagaan Transportasi Metropolitan yang mampu
mengelola angkutan umum lintas batas administratif dan lintas moda. MRT
East-West (Jabodetabek), Kelembagaan pengelola BRT Metropolitan Bandung dan
Medan.
Pembangunan MRT North-South dan East-West tahap awal masih
berhenti di batas kota Jakarta akibat tantangan dari sisi kelembagaan,
sedangkan permintaan (demand) berasal dari Wilayah Bodetabek (Bogor, Tangerang,
Depok dan Bekasi).
Belum mapan atau masih terbatasnya Rencana Mobilitas
Perkotaan yang menjadi dasar pengembangan Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM)
terpadu di suatu wilayah metropolitan. Perlu adanya pedoman dan memperluas
penyusunan SUMP di metropolitan dan kota besar.
Di sisi lain, ada keterbatasan Kapasitas Fiskal Daerah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, angkutan massal
adalah kewenangan Pemda. Namun Pemda belum mampu membangun dan mengelola
angkutan massal perkotaan. Jika hanya mengandalkan kapasitas fiskal Pemda,
selain Jakarta tidak ada kota yang mampu membangun MRT dan LRT.
Selain investasi awal prasarana, juga terbatas penyediaan
sarana maupun untuk operasionalisasi, contoh komitmen Pemda dalam penyediaan
sarana Bus Rapid Transit (BRT) Bandung Raya.
Belum memadainya dukungan Pemerintah Pusat untuk SAUM.
Dukungan Pemerintah sebesar 49 persen Capex (dalam aturan KPBU) untuk kasus
angkutan massal tidak mencukupi. Payung hukum dukungan Pemerintah Pusat yang
ada saat ini masih bersifat arbitrary (untuk masing-masing proyek, seperti LRT
Sumatera Selatan 100 persen, MRT Jakarta 49 persen, LRT Jabodebek sinergi
BUMN). SAUM merupakan prioritas nasional, best practice di berbagai negara
didukung pendanaan Pemerintah Pusat.
Angkutan massal perkotaan merupakan prioritas nasional,
pembangunannya di berbagai negara didukung pendanaan Pemerintah Pusat. Porsi
dukungan pemerintah pusat dalam pengembangan angkutan massal (Bappenas, 2025),
seperti Brazil sebesar 95 persen, Jerman (90 persen), India (90 persen),
Columbia (70 persen), Meksiko (50 persen).
Sejak tahun 2020, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
Kementerian Perhubungan telah menyelenggaran program bantuan bersifat temporary
(stimulus sementara) pengembangan angkutan umum perkotaan ke beberapa kota
dengan skema pembelian layanan ( buy the service ). Setelah lima tahun
pelaksanaan akan dialihkan ke pemerintah daerah untuk menanganinya.
Data dari Ditjenhubdat (2025), menunjukkan pagu anggaran
kegiatan buy the service (BTS) fluktuatif. Nilai kontrak tahun 2020 sebesar Rp
51,83 miliar, realisasi Rp 49,93 miliar, tahun 2021 (kontrak Rp 312,25 miliar,
realisasi Rp 311,71 miliar), tahun 2022 (kontrak Rp 552,91 miliar, realisasi Rp
546,95 miliar), tahun 2023 (kontrak Rp 582,98 miliar, realisasi Rp 573,36
miliar), tahun 2024 (kontrak Rp 437,89 miliar, realisasi Rp 429,79 miliar) dan
tahun 2024 kontrak Rp 177,49 miliar. Anggaran tahun 2025 dibandingkan tahun
2024, turun sekitar 60 persen.
Semakin tahun semakin turun anggaran BTS, sementara
kota-kota yang akan dibenahi sekitar 90 kota. Belum lagi wilayah kabupaten
(angkutan pedesaan) dan aglomerasi (penghubung antar kabupaten dan kota).
Kesungguhan pemerintah dinantikan, terlebih pembenahan transportasi umum bukan
hanya sekedar untuk mengatasi kemacetan, polusi udara, kecelakaan, namun lebih
dari itu.
Kebijakan Sektor Transportasi
Ada tiga Arah Kebijakan Pembangunan Sektor Transportasi
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Pembangunan Nasional (RPJPN) 2025-2045
Bappenas, 2025).
Pertama, efisiensi jaringan pelayaran dan penerbangan
sebagai tulang punggung ( backbone ) konektivitas yang terintegrasi secara
domestik dan terhubung secara global, berupa jaringan hub and spoke untuk
pelayaran dan penerbangan; integrasi kawasan ekonomi dengan simpul konektivitas
laut dan udara; pengembangan aerocity pada hinterland bandara hub primer,
infrastruktur dan layanan konektivitas untuk Kawasan Timur Indonesia, wilayah
perairan, dan daerah 3TP (termasuk airstrip, seaplane , transportasi perintis
multimoda); Hub transhipment di Kawasan Timur untuk meningkatkan muatan balik;
penataan kelembagaan dan regulasi pengelolaan pelabuhan dan logistik;
pembangunan pelabuhan gateway ekspor-impor dan transhipment hub internasional;
konektivitas Ro-Ro untuk logistik dan penumpang pada jarak dekat dan menengah.
Kedua, penguatan integrasi antar moda transportasi darat, laut,
dan udara untuk meningkatkan efisiensi logistik dan mobilitas penumpang. Adapun
penguatan itu berupa pembangunan transportasi (darat, laut, udara) dan
pengembangan kawasan strategis yang terintegrasi; pembentukan kelembagaan
integrator untuk mengkoordinir layanan transportasi multimoda dan distribusi
logistik; standardisasi infrastruktur dan fasilitas di seluruh pelabuhan dan
bandara utama; membangun infrastruktur jalan pada koridor utama dan penghubung
serta akses ke kawasan ekonomi dan simpul transportasi; mengembangkan
konektivitas kereta api pada koridor logistik untuk angkutan barang dan
penumpang; mengembangkan skema pembiayaan untuk jalandaerah termasuk dana
preservasi jalan, Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Program Hibah Jalan Daerah
(PHJD); mengembangkan kebijakan tarif dan skema pembiayaan yang berkelanjutan
untuk pengadaan sarana angkutan.
Ketiga, mewujudkan kota cerdas ( smart cities ) dan angkutan
umum massal perkotaan yang berkelanjutan. Penyusunan rencana mobilitas
perkotaan di wilayah metropolitan, kota besar dan kota sedang serta menerapkan
pendekatan Transport Demand Management (TDM); meningkatkan perencanaan dan
penataan angkutan logistik perkotaan; pengembangan skema integrasi pendanaan
dan kelembagaan pengelolaan dan pengoperasian angkutan umum massal di wilayah
metropolitan; mendorong e-mobility serta ekosistem kendaraan berbasis energi
baru terbarukan (EBT).
Cukup berat untuk mewujudkan impian ini di tengah efisiensi
anggaran. Sementara upaya Menteri Perhubungan untuk mewujudkannya dalam
programnya memimpin Kemenhub juga belum kelihatan.