Menelisik Awal Mula Berdirinya Detik.com, Budiono : Saya Tidak Pernah Menyesal

SUKSES BESAR: Pendiri Detik.com saat berbagi pengalaman dalam suatu kesempatan.(niawidodoo wordpress)


Jakarta, Sindotime-Transaksi pembelian Detik.com oleh Chairul Tanjung pada
pertengahan  tahun 2011 mengejutkan
pelaku bisnis media di negeri ini. Belum lama ini Bisnis menemui Budiono Darsono salah satu pendiri Detik.com untuk berbincang mengenai awal
pendirian dan transaksi penjualan tersebut. Sebagai catatan, Detik.com yang dibangun dengan modal
awal Rp 40 juta, setelah 13 tahun berdiri dilego senilai US$60 juta atau
sekitar Rp 521-540 miliar. Dan kini, Detik.com
telah tumbuh menjadi media terbesar di tanah air dengan jutaan pengunjung
setiap harinya, tentunya dengan keuntungan yang belipat. Belum lagi keuntungan besar
yang mereka terima dari platform media sosial seperti Youtube, Instagram, Facebook,
Tweeter
dan sebagainya. Berikut wawancaranya.

Siapa saja
yang semula mendirikan Detik.com?

Ada
5 orang, kami anggap ada dua babak sebagai founder. Abdul Rahman, Budiono
Darsono, Didi Nugrahadi, Yayan Sopyan, dan Calvin Lukmantara. Yang pertama
empat nama pertama yang disebut. Didi dan Yayan pada 2002-2003 melepas semua
sahamnya ke kami, ke Abdul, saya, dan Calvin. Tiger Investment kemudian masuk
sekitar 2004-2005 dan saham kami terdilusi.

Bisa anda
ceritakan sejarah Detik.com ?

Pada
akhir 1996, Agranet publishing Internet, membuatkan situs. Aku Yayan, Abdul,
Didi, sebelum ada Detik menggunakan nama PT yaitu Agranet. Setelah kami bisa
bikin situs sendiri, kami dapat klien yaitu Kompas.com.
Waktu itu Kompas.com ingin redesign,
kami mengajukan tender dan menang. Lalu kami taruh server-server mereka di AS.
Kontennya merupakan pindahan dari edisi cetak. Dalam proses perjalanan ini,
kami enggak punya uang. Servernya kan gratis pada waktu itu, masih kecil
kapasitasnya. Uang pertama itu kami dapat dari Kompas.com. Kami gunakan uang itu sebagai modal. Lalu kami bilang
ke Kompas, ini tidak salah, tapi akan lebih baik kalau versi online itu isinya berita terus menerus,
jadi jangan hanya memindahkan edisi cetak saja. Klien-klien kami yang media itu
tidak ada yang melakukannya. Akhirnya, kami putuskan untuk membuat sendiri. Saya
sempat bersumpah untuk enggak jadi wartawan. Waktu itu Berita Buana dibreidel, Detik dibreidel. Kapok saya. Ganti
profesi jadi web designer. Akhirnya
membuat untuk contoh.  Kami bermimpi
macam-macam. Kami mulai dengan satu jurnalis pada 9 Juli 1998 yang sampai saat
ini masih bekerja bersama Detik.com.
Investasi awal Rp 40 juta. Web designernya Rp 40 juta itu digunakan untuk
membelikan server Kompas. Kami deal dengan sebuah perusahaan AS, beli US$20.000
untuk server Kompas. Tapi saya dapat server gratis. Kalau enggak ada Kompas, enggak ada Detik. Meskipun tidak secara langsung, rejekiku dari Kompas. Dalam
berbagai seminar, aku ceritakan, yang menghidupi Detik itu ya dari Kompas.
Proses 10 tahun itu, aku, Abdul, dan Calvin sering terlibat diskusi. Memang ada
pemikiran bahwa kami ini sudah mentok. Kalau diteruskan memang tetap tumbuh,
tapi harusnya bisa lebih. Di Indonesia, potensinya besar, harusnya bisa lebih
tinggi lagi.

Dalam
perjalanan selama 13 tahun, kapan Anda dan teman-teman merasakan sebagai masa
terberat?

Pada
2000-2002. Itu karena kan persepsi dotcom
hancur-hancuran. Di dunia, tidak hanya Indonesia, bubble dotcom pecah. Persepsi kemudian hancur. Detik.com pada waktu itu sudah mendapatkan iklan yang lumayan. Tapi
persepsi dengan industri yang hancur-hancuran ini kan berpengaruh ke detik.com. Pada 2001 itu, kami sempat
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) 27 orang karena harus menyelamatkan Detik.com. Pada waktu itu saya sempat
berantem dengan Abdul karena dia menganjurkan untuk mem-PHK karyawan. Saya
bantah. Dia bilang, di luar negeri perusahaan rugi saja PHK karyawannya, kami
juga harus melakukan hal yang sama. Dia bilang kita harus rasional, kalau hanya
emosional, Detik.com bisa bubar.
Kemudian, dengan berat hati akhirnya memberhentikan pegawai. Tapi justru karena
keputusan Abdul, Detik.com selamat. Sebanyak
27 orang diberhentikan dari jumlah karyawan waktu itu yang masih 80 orang
tersisa. Abdul itu rasional banget. Saya Indonesia banget, memikirkan banyak
hal. Tapi keputusan Abdul betul. Kalau tidak mengambil langkah itu, mungkin
sudah gulung tikar. Pada 2002-an kami sudah lebih baik, sudah bisa menghidupi
diri sendiri, tapi saya dan Abdul tidak menerima gaji. Karyawan juga masih
telat mendapatkan gaji. Pada 2004, kami sudah untung. Awalnya untung kecil,
tapi lalu naik, naik terus. Setelah dapat uang dari Tiger, kami gelindingkan dan hidup sendiri. Malah uangnya Tiger utuh. Saya lupa angkanya. Tiger itu sempat marah, karena uangnya
idle. Jadi kami punya cash banyak. Tiger
tidak menaruh perwakilan di sini; hanya menaruh uang saja. Mereka percaya
sekali. Kami itu meski perusahaan begini, kami pakai akuntannya Price Water
House. Tapi rapor selalu kami kirim kepada mereka. Setelah Tiger masuk, kami
terus tumbuh. Mereka basisnya di New York, AS. Banyak menanamkan modal di perusahaan
dotcom. Mereka rutin berkomunikasi dengan kami. Mereka sepenuhnya menyerahkan
kepada kami. Kadang-kadang memberi saran, ide-ide. Pernah juga mengajak kami
untuk melihat investasi lain di dotcom
yang mungkin dikembangkan di Indonesia. Yang paling penting target tercapai
dulu tahun ini. Pada 2012, harapannya tentu ide untuk mencapai lebih dari 100%
bisa tercapai, meski saya bukan lagi pemilik. Kalau tidak, bisa sedih, kan
dilepas untuk mencapai target itu.

Bagaimana
anda membagi peran dengan pendiri yang lain ?

Abdul
lebih ke bagian keuangan, bisnis kita kelola bareng-bareng, sedangkan saya
mengurusi konten. Saya berteman dengan dia dari Tempo. Dia dulu dari Tempo ke
Swa. Abdul itu kuncinya. Satu hari saya kan pengangguran begitu Tabloid Detik
dibredel saya kan enggak ada pekerjaan. Lalu oleh Majalah Swa saya diminta
melatih wartawannya. Abdul redaktur eksekutif di Swa. Kalau selesai mengajar,
saya suka ngobrol bareng Abdul. Karena sebelumnya kami sudah dekat. Dia sudah
mengerti Internet, saya enggak mengerti waktu itu. Dia satu-satunya di redaksi
Swa yang berlangganan Internet dengan biaya sendiri. Pada waktu itu masih based on text, enggak ada gambarnya.
Saya masih belum jelas bisnisnya bagaimana. Abdul sudah memiliki gambaran. Dari
situ saya lalu bercerita kepada Didi, tetangga saya. Dulu dia pegawai Bank
Exim. Lalu kami bertiga. Lalu muncul Yayan Sofyan, yang pernah redaktur budaya
Tabloid Detik yang juga menganggur. Yayan sebelumnya mencari pekerjaan untuk
adiknya. Yayan akhirnya bergabung. Lahirlah PT Agranet. Satu keajaiban,
keberuntungan, pada akhirnya saya harus bilang saya mesti berhenti. Akan jauh
lebih bagus ketimbang diteruskan. Semakin cepat pensiun, lebih bagus, akan ada
regenerasi, lebih segar.

Bisnis
model detik.com seperti apa?

Awal-awal
itu bisnis model yang menjadi perhatian. Ketika mengelola ini, ketika saya
turun dari mobil, ada satpam yang jemput untuk mengambil tas. Enggak boleh.
Tidak boleh juga satpam bersikap terlalu hormat kalau saya datang. Lalu saya
juga tidak memiliki ruangan. Semua orang bisa bertemu saya kapan saja. Saya
membayangkan ini kan sejak awal saya itu bukan siapa-siapa. Kalau Budi bukan
siapa-siapa, enggak disapa, ya saya enggak apa-apa. Saya tekankan juga ke
anak-anak. Mereka enggak boleh ke Detik.com.
Magang pun enggak boleh, cari tempat lain.

Siapa orang
yang menginspirasi Anda ?

Aku
belajar nulis itu dari Fikri Jufri. Roh-nya dari Goenawan Muhammad. Dua orang
itu duduknya di seberang saya waktu saya di Tempo.
Fikri itu guru saya langsung. Bersama Goenawan banyak berdiskusi macam-macam.
Yang memberikan kesempatan itu Eros Djarot. Di Tabloid Detik, dilepas, dikasih
duit, diminta mengurus penuh. Tiga orang ini sangat berpengaruh hingga hari
ini.

Soal
divestasi Detik.com, apakah semuanya dilepas ?

Semuanya
dilepas. Kalau kemarin (Anda bertanya tetapi tidak dijawab) bukan karena ada
perjanjian enggak boleh ngomong, tapi karena belum ada cerita (soal harga).
Jadi susah ngomong. Nanti bilang iya, tidak, bilang tidak, ternyata iya, kan
repot. Mendingan diem.

Sebelum
transaksi komposisi kepemilikannya detik.com seperti apa ?

Aku
nggak mau cerita detail ya. PT-nya itu bernama Agranet, yang pemiliknya Budiono
Darsono cs dan Tiger. Tiger ini dari Amerika Serikat sedangkan mayoritas
Budiono cs. Yang diakuisisi dalam transaksi ini adalah 100% saham PT Agranet.

Negosiasi
penjualan detik.com berlangsung 2 tahun, bisa diceritakan prosesnya ?

Pada
tahap awal dulu itu tidak sepakat, ada perbedaan di harga. Dua tahun itu mereka
(CT Corp) gigih. Pak CT (Chairul Tanjung) menilai new media ini bisnis masa
depan, akan tumbuh terus. Pertumbuhannya bagus namun kami sempat tidak sepakat
pada harga. Tetapi setelah itu tidak berhenti. Setiap saat menanyakan. Mereka
juga menaikkan harga akuisisi. Kami masih belum sepakat. Proses sampai
menemukan kecocokan harga justru mendadak, kilat.   Prosesnya tergolong cepat. Kenaikan harga
yang mereka tawarkan juga signifikan. Di samping soal harga, ada alasan kami
harus melepas. Antara alasan dan harga itu nyambung. Alasannya yang pertama,
kami sudah 13 tahun mengelola ini, saya dan Abdul Rahman. CEO-nya itu Abdul
Rahman, saya wakil CEO. Selama 13 tahun itu kan kami memiliki banyak obsesi.
Memang kami setiap tahun keuntungan bisa tumbuh 100%, tetapi ini nominal yang jauh
dari impian. Tahun lalu, laba bersih kami kira-kira Rp 20 miliar, tahun ini
Insya Allah bisa Rp 40 miliar. Ada pertumbuhan yang setiap tahun mencapai 100%.
Tetapi bayangan kami, pertumbuhan itu masih jauh dari yang bisa kami capai.
Karena kami tidak memiliki lebih banyak resources. Misalnya begini, kalau kami
ingin investasi yang nilainya Rp30 miliar kan mikir. Kalau kami lakukan ada kemungkinan
laba yang kami hasilkan habis. Banyak potensi besar yang tidak bisa kami ambil
karena keterbatasan, tidak hanya finansial. Kalau ingin bersinergi misalnya, ya
kami tidak memiliki apa-apa. Detik.com
kan hanya Detik.com tetapi tidak
memiliki resources lainnya. Ini menjadi obsesi bagi kami. Satu hal yang bisa
kami lakukan adalah detik.com akan
dapat tumbuh besar kalau diambil oleh grup yang tepat. Grup yang memiliki
sumber daya dan finansial. Selama proses pemikiran untuk melepas detik.com yang tertarik bukan hanya Pak
CT. Ada banyak pihak, baik dari pemain lokal maupun dari luar negeri, ada 3
hingga 4 pihak. Kalau pada era 2003-2004 pemain dari luar yang datang. Mereka
umumnya menaruh uang saja. Sejak tiga tahun lalu, pemain lokal juga mulai
tertarik. Pada proses ini kami mulai memilih siapa pihak pembeli yang tepat.
Kami bertemu langsung dengan CT Corp. Tidak melalui pihak ketiga.

Peralihan
kepemilikan ini apa menjamin semua rencana Detik.com akan selaras dengan yang
keinginan CT Corp ?

Mereka
itu memiliki obsesi yang sama. Jadi obsesi saya itu, saya boleh sebut 99% sama
dengan CT Corp. Idenya sama. Karena kita punya ide dan gagasan yang sama untuk
mengambil potensi yang besar itu maka posisi Abdul Rahman akan tetap
dipertahankan setelah perubahan kepemilikan. Saya juga tetap dipertahankan
sebagai direktur untuk konten dan pemimpin redaksi. Kami sedang menyusun
komposisi direksi. Tapi saya sudah diminta secara resmi. Abdul juga demikian.

Faktor apa
lagi yang akhirnya membuat akuisisi ini terlaksana?

Saya
dan Abdul kan bisa dibilang manajemen amatiranlah. Aslinya kan kemampuannya
menulis. Kami tahu 13 tahun ini tumbuh dan bagus, tapi harusnya sebulan ini
bukan Rp15 miliar, harusnya angkanya sudah Rp100 miliar. Kenapa tidak bisa ?
Kami sendiri terobsesi. Jadi justru kalau ingin membawa Detik.com lebih besar, harus dilepas kepada yang lebih mampu. Jatah
saya hanya sampai di sini. Kami tahu dirilah. Bagaimana transaksi penjualan Detik.com bisa dituntaskan ? Kebanyakan
enggak formal, bukan suasana yang formal. Bukan dalam kaitan negosiasi.
Matching justru di layer-layer informal. Kalau formal itu justru enggak ketemu.
Kami sering bertukar ide menggunakan social media, twitter misalnya. Dari situ chemistry itu muncul. Justru tidak
terucap. Baru setelah ini, oke, baru terucap. Tapi banyak yang tidak terucap.
Selama 2-3 hari kita sudah teken. Ini mengalir dan sangat cepat. Dari pihak
sini maupun Pak CT.

Ada
perasaan menyesal ?

Jangan
pernah menyesali apa yang kita lakukan.

Obsesi
setelah ini apa ?

Saya
hanya ingin membuka warung kopi. Saya tidak memiliki pemikiran untuk membuat
bisnis serupa Detik dan mengulang kesuksesannya. Mustahil. Detik.com itu lahir, sukses, karena ada kondisi-kondisi tertentu.
Momentum itu tidak dapat diulang. Misalnya, detik.com
sebagai pionir. Kalau saya buat lagi kan bukan pionir tapi pengikut. Saya tidak
pernah bermimpi mengulangi sukses pada hal yang sama.

Ide warung
kopi dari mana ?

Saya
dengan Hana, istri saya, sudah lama berpikir, kami harus punya aktivitas yang
kami senang. Saya pengen punya warung, yang saya ikut bekerja di situ. Enggak
hanya saya jadi bos. Harus melayani sendiri. Warung kopi. Sekarang kami
belajar. Saya dan istri pergi berkeliling untuk mencari konsep. Saya bertemu
istri saya di Surabaya Post, dia
wartawan juga. Menikah 1989. Dengan dua anak. Anda dulu sempat bermain di koran
siang. Banyak orang keliru menganggap kami ingin bikin koran. Tapi itu adalah
biaya promosi. Biar tidak hanya sekedar promosi, kami ingin menghasilkan
sensasi. Kami bikin koran, terbit dua kali, siang dan sore. Itu kalau akal
sehat aja jontor jalanin begitu. Anggarannya Rp300 juta untuk 3 bulan. Setiap
hari terbit. Edisi siang 10.000 eksemplar, edisi sore 6.000 eksemplar. Kami
sebar seolah-olah menggunakan agen. Pada waktu itu kami menjembatani pembaca
untuk mengakses dotcom. Situasinya kan beda. Mereka harus dikasih koran untuk
membawa ke konten dotcom. Selama ini kan kami juga tidak anti cetak. Setelah 3
bulan, kami putuskan untuk berhenti. Kalau berbicara dukungan finansial, ada
banyak opsi lain seperti IPO dan obligasi yang bisa diambil.

Kenapa ini
tidak dijadikan pilihan ?

Kami
sudah memikirkan pilihan-pilihan itu, tapi enggak lah. Kembali lagi kami
memikirkan bahwa kami ini manajemen amatir. Beruntung 13 tahun bisa seperti
sekarang ini. Kami tahu, sebagai pemilik kami sampai di sini. Kami mendapatkan
pihak yang datang dari chemistry yang sama, pandangan yang sama, dan sepakat
perihal pricing.

Soal
karyawan pascaakuisisi bagaimana?

Semua
karyawan sudah kami ajak berbicara. Pak CT itu kan datang untuk mencari
resources baru, bahkan mereka tekankan usahakan tidak ada satu pun yang keluar.
Jumlah karyawan sekitar 320 orang ini resources baru. Marketing dan sales juga
demikian. Apalagi bisnis dotcom itu
berbeda, misalnya dengan televisi dan media cetak, skill-nya khusus.

Uang dari
penjualan detik.com ini mau diinvestasikan kemana ?

(Sampai
sekarang) Saya masih bekerja.

Sampai
kapan?

Sampai
Pak CT butuh saya. Tapi regenerasi harus terjadi, semakin cepat, semakin bagus.
Enggak bagus orang terlalu lama di sini. 13 tahun jadi pemimpin redaksi,
menurut saya, itu ngawur. Ha-ha-ha.  

Apa rencana
setelah pensiun ?

Saya
mau pensiun buka warung kopi. Ketika Berita Buana dibredel pada 1990. Saya ke
Parung di kompleks baru jualan beras dan lain-lain. Kira-kira 7 bulan, datang
Ali, sekretaris Eros Djarot minta tolong untuk menjalankan Tabloid Detik. Berangkatlah saya bantu dia. Setahun kemudian,
dibredel bareng Tempo dan Editor.

Rencana
bisnis Detik.com seperti apa setelah transaksi penjualan ?
  

Kami
masih menggunakan business plan yang ada, yang sudah dibuat sebelum akuisisi,
hingga akhir tahun ini. Setelah itu, baru akan ketahuan, berapa suntikan dana
yang dibutuhkan. Secara arus kas, kami masih sangat bagus. Tahun ini kami
anggarkan sekitar Rp20 miliar, kebanyakan untuk teknologi informasi karena kami
banyak mengembangkan aplikasi. Kami juga menambah kapasitas server dan
sebagainya.

Apa yang
sudah dan belum sampai Desember ?

Proyek
baru banyak, kami tetap dalam schedule yang sama. Seperti mengubah desain tepat
pada 9 Juli. Detikkios misalnya,
khusus untuk iPad. Kami mengundang semua penerbit untuk berjualan di detikkios. Semacam pengecer, dengan
pembagian Apple 30%, detik.com 30%,
penerbit 40%. Ini sudah di-approve
oleh Apple. Ini sederhana sekali, pemilik konten hanya mengirimkan file PDF.
Platform sementara ini di iPad. Nanti kami juga akan melihat Android dan RIM.
Tapi yang paling siap kan iPad. Detikkios
ini dikembangkan sendiri. Kami punya jagoan-jagoan. Kami juga mengembangkan
aplikasi di luar detik.com tetapi
sebenarnya ini sinergi. Kami misalnya telah meluncurkan Makan Di Mana. Lalu
kami luncurkan Masak Apa, di beragam platform; BlackBerry, Android, iPad.
Aplikasi ada foto, resep. Misalnya orang di supermarket, dia bisa melihat
bahan-bahan apa yang diperlukan untuk membuat masakan. Sesampainya di rumah,
dia juga bisa melihat lagi cara memasaknya. Kalau aplikasi Makan Di Mana akan
membantu pengguna mencari tempat makan. Misalnya dia ada di satu tempat,
tinggal gunakan aplikasi ini, nanti akan tampak hasil tempat-tempat makan di
sekitar itu. Kami juga memiliki Detikdeal.
Ini yang sepertinya membutuhkan resources besar karena kami serius di commerce.

Masa depan
Detik.com akan bergantung pada layanan apa ?

Ke
depan itu ada dua hal yang perlu dilihat di new media. Pertama adalah tetap
web, yang kedua mobile berbasis aplikasi. Karena itu, detik.com harus main di aplikasi. Kami juga mengembangkan aplikasi
alamatku. Itu sudah dalam proses. Aplikasi di mana orang mencari alamat. Ini
akan digabung dengan peta. Model bisnisnya akan ada misalnya iklan. Sekarang
layanan sejenis tersedia dengan nama bukukuning.com.
Nanti akan dikembangkan di dalam aplikasi alamatku.

Bagaimana
mengenai rencana sinergi dengan media di bawah CT Corp (Ada Trans 7 dan Trans
TV) ?

Kami
sedang membahas. Belum bisa secara detail diceritakan. Kami juga akan membahas
sinergi seperti apa. Ada beberapa contoh grup besar yang mencoba menyinergikan
beragam konten tapi gagal. Ini akan menjadi pengalaman dan memberikan
pelajaran. Tim ini solid. Tidak ada resistensi. Saya percaya tidak. Saya
tekankan ini yang berubah hanya kepemilikan. Ke keluarga semua juga begitu. Ke
istri dan anak-anak.

Proses
kaderisasi yang Anda persiapkan seperti apa ?

Bagus,
selama 2 tahun terakhir ini, sebetulnya saya lebih seperti pemimpin redaksi korporat.
Di level wakil pemimpin redaksi ada dua orang. Mereka yang menjalankan
operasional, meski saya tetap mengecek. Mereka sudah jagoan operasional, naluri
sudah jalan. Naluri untuk melihat konten mana yang menarik dan perlu
dikembangkan. Kalau jaman dulu kan enggak punya alat untuk mendeteksi, sekarang
kan bisa real time untuk mengetahui mana yang sedang banyak dibaca.

Skenario
apa yang dipersiapkan untuk Detik.com?

Saya
enggak tahu karena saya bukan lagi pemiliknya. Saya yakin Pak CT memiliki
skenario yang terbaik untuk Detik.com.
Ada atau pun tidak ada saya dan Abdul.

Di
Indonesia perbedaannya apa?

Di
luar, seperti Spanyol dan Inggris, online advertising mengalahkan TV, apalagi
cetak. Kenapa? Karena industrinya jalan, satu sama lain. Pemahaman juga terjadi.
Di sini masih susah. Misalnya di biro iklannya belum paham, kliennya juga.
Seiring dengan pertumbuhan ini, harusnya industri ini bergerak. Nah pergerakan
ini bisa terjadi kalau betul-betul digali. Kalau di luar negeri, pemilik media
cetak berani menutup media cetaknya dan pindah ke online. Berani mereka mengambil
keputusan seperti itu. Di sini? Enggak berani. Aku sudah bilang, cetak boleh
mati, tapi media enggak akan mati. Di sini banyak yang mengerjakannya
setengah-setengah. Nanti terlambat bisa enggak kebagian. Makanya kita lihat
banyak yang gagal masuk ke online karena ragu-ragu. Kami pernah menerima
kunjungan dari salah satu koran tertua di Denmark. Mereka datang ke Detik.com. Mendengar Detik.com sebagai media online pertama
di dunia. Mana sih media yang pertama murni menjalankan rule media online.
Mereka belajar, 3 bulan kemudian, koran itu menutup edisi cetaknya, pindah ke
online. Mereka mendapatkan iklan besar-besaran karena perubahan ini. Karena
ketika koran itu tutup, pembaca mau enggak mau kan ke versi onlinenya. Saya
memiliki keyakinan yang besar karena ada contohnya.(bisnis.com)