BERI PENJELASAN: Manajer PLN IP UBP Bukittinggi, Budi Murianto memberikan penjelasan soal operasional PLTA Singkarak kepada puluhan awak media dalam kegiatan Roadtrip Media PLN UID Sumbar, Selasa (26/8).(zoe/sindotime)
Padang Pariaman, Sindotime-Selain Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Maninjau dan
Batang Agam, PLTA Singkarak merupakan salah satu sektor pembangkitan yang
menjadi tulang punggung dalam menjamin keandalan sistem kelistrikan Sumbar.
Sektor pembangkitan yang berada di bawah PLN Indonesia Power
Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Bukittinggi ini, mulai dibangun sekitar 1995 dan
mulai beroperasi sejak 1998 lalu, atau sekitar 27 tahun lalu usai diresmikan
oleh Presiden Suharto.
Dalam operasionalnya, pembangkit yang menghasilkan tegangan listrik
sebesar 175 MW ini, sarat dengan remotisasi. Di mana, proses operasionalnya
mampu dikontrol dari Kantor PLN IP UBP Bukittinggi yang berada di Padanglua,
Agam.
“Ini adalah power house PLTA Singkarak yang mengoperasikan
empat motor pembangkit. Itu ruang operator lokal dan ruang kontrol operator di
mana operasinya bisa remotisasi jarak jauh,” kata Manajer PLN IP Unit Bisnis
Pembangkitan Bukittinggi, Budi Murianto di hadapan puluhan wartawan dalam
kegiatan Roadtrip Media PLN UID Sumbar, Selasa (26/8).
Dalam operasional, terdapat
terowongan air sepanjang 16,5 Km yang menembus Bukit Barisan. Dan sekitar 800 m akses yang menghubungkan pintu masuk terowongan ke area power house yang
merupakan pusat pembangkit PLTA Singkarak yang berada di Asampulau Kecamatan
2×11 Kayutanam Padangpariaman tersebut.
Untuk ketahanan gedung power house ini sendiri sudah
didesain ramah gempa, yang diperkirakan masih aman pada gempa 9-10 SR. Dan juga
dilengkapi dengan SOP tanggap darurat skema evakuasi dan peralatan tanggap
darurat dari bencana gempa bumi dan banjir sudah dipersiapkan.
Terkait pemeliharaan, semua unit pembangkit menjalani
perawatan tahunan berdasarkan jam operasi 8.760 jam yang harus terpenuh per
tahun. Sedangkan kalau operasinya start-stop, operasinya bisa lebih dari satu
tahun. Dan di PLTA tidak ada ekuivalen jam operasinya, jadi sesuai dengan
service hour (jam operasi).
Tahun kemarin, juga sempat dilakukan pemeliharaan untuk unit
2 dan 3, dan yang lainnya stand by.
Dan untuk mesin sendiri tidak butuh pendinginan, begitu stop bisa langsung
dilakukan pengecekan. Ini berbeda jika dibandingkan dengan PLTU yang
membutuhkan 3-4 hari untuk proses pendinginan.
Untuk satu mesin memiliki kapasitas pembangkit sebesar di
43,75 MW atau sekitar 175 MW jika keempat motornya bekerja. Dan untuk debit air
yang dibutuhkan untuk dapat beroperasi yakni sebesar 19,24 M3/detik. Atau
sebesar 77 M3/detik jika semua mesin beroperasi.
Untuk memastikan debit air, monitoring dari operator lokal
pintu air dilakukan setiap satu jam sekali. Sehingga bisa merencanakan daya
mampu harian, mingguan, bulanan bahkan sampai tahunan. Karena itu operasi mesin
ini bisa dijadwalkan.
Dan misalnya kalau PLTA Singkarak stop, pembangkit lainnya
yang ada di Sumbar tetap menyuplai dan tidak berpengaruh terhadap pasokan
listrik di Sumbar.
“Jadi ada istilah batas basah, normal sampai kering. Sampai
kini masih di batas normal. Kalau di musim kemarau, untuk menjaga batas normal
tidak semua mesin yang dijalankan. Untuk mencapai kapasitas airnya di beban
puncak. Dan sebaliknya jika musim penghujan beroperasi mesin ini beroperasi full,” sebut Budi.
Menariknya, dalam mekanisme operasional pemantauan permukaan
air, diatur oleh sistem tenaga listrik yang juga punya pemantauan level air. Di
mana ini tidak akan beroperasi jika berada di level yang rendah. Dan jika levelnya
tinggi, keempat-empatnya (mesin, red) beroperasi.
Untuk Biaya Pokok Produksi (BPP) sendiri terus dijaga di
bawah Rp 300 KWH. Namun untuk BPP ini sesuai dengan produksi. Jika produksi
semakin besar, maka BPP akan semakin kecil. Dan untuk sekarang, di musim
kemarau di Juli ini mencapai Rp 270 KWH dan berharap musim penghujan bisa
segera datang. Sehingga semua mesin bisa beroperasi dan menekan biaya produksi.
“Kalau musim kemarau berkepanjangan, pola produksi akan
semakin sedikit dan BPP akan naik. Karena KWH produksi itu adalah pembandingan
biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan pembangkit ini. Namun, ini
tentunya sangat bergantung kepada kondisi level air,” aku Budi.
General Manager (GM) PLN UID
Sumbar, Ajrun Karim mengaku, kegiatan Roadtrip Media PLN UID Sumbar ini
merupakan salah satu upaya yang dilakukan PLN untuk memperkenalkan lebih jauh
soal PLN kepada masyarakat.
“Dengan kegiatan ini, sinergi yang baik terus terjalin
antara media dan PLN, serta ini juga kesempatan untuk mengenal lebih banyak
soal PLN grup yang ada di Sumbar,” kata Ajrun Karim.
Diberharap agar rekan-rekan media bisa mendapatkan insight
baru soal PLN, yang tak hanya menerangi masyarakat dengan listriknya, namun
juga untuk manfaat lainnya dalam mendukung Asta Cita pemerintah, terutama pada
poin kedua dan keenam.
“Jadi PLN tak hanya hadir dalam melistriki masyarakat
Indonesia, namun juga mendukung Asta Cita pemerintah dalam hal memantapkan
sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui
swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi
biru serta membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan
pemberantasan kemiskinan,” jelasnya.
Dalam roadtrip rekan media di PLN UID Sumbar dikenalkan PLTA
Singkarak di Padangpariaman, Program Electrifying Agriculture (EA) buah naga di
Kota Solok, Huller listrik di Selayo Kabupaten Solok, dan EA kebun bawang di
Alahanpanjang, Solok.
Dan juga melakukan serah terima Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan PLN UID Sumbar kepada Kopi Solok Radjo di Nagari Aie Dingin
Kabupaten Solok.(zoe)